Sabtu, 14 Januari 2012

ANATOMI FISIOLOGI PLEURA DAN MEKANISME EFUSI




Dr. Ahmad Rasyid, SpPD-KP, Dr. Zen A,SpPD-KP
Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSMH/FK UNSRI Palembang

Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini menutupi jaringan paru dan terdiri dari 2 lapis:
  1. Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, langsung menutupi permukaan paru.
  2. Pleura parietalis: terletak disebelah luar, berhubungan dengan dinding dada.
Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel  (yang memproduksi cairan), membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh darah dan limfe.
Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus menerus merembes keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal. Cairan ini diserap oleh pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali kedarah. Efusi terjadi jika pemnbentukan cairan oleh pleura parietalis melampau batas pengambilan yang dilakukan pleura viseralis.
Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran tebal 10-20 mm, berisi sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung protein < 1,5 gr/dl dan ± 1.500 sel/ml. Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit, makrofag dan sel mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil didalam cairan pleura.
Keluar dan masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang agar nilai normal cairan pleura dapat dipertahankan




                                                     

Gambar 1:  Rongga pleura

Gambar 2:  Mekanisme terjadinya efusi pleura
Cairan pleura sebenarnya adalah cairan interseluler pleura parietal. Oleh karena pleura parietal disuplai oleh sirkulasi sistemik sedangkan tekanan didalam rongga pleura lebih rendah dibanding atmospir, gradien tekanan bergerak dari interselular pleura ke arah rongga pleura.

Ada 6 mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya penumpukan cairan dalam rongga pleura, yaitu:
  1. Peningkatan tekanan hidrostatik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini dijumpai pada gagal jantung kongestif.
  2. Turunnya tekanan onkotik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini terjadi akibat hipoalbuminemia seperti pada sindroma nefrotik.
  3. Turunnya tekanan intra pleura, yang dapat disebabkan oleh atelektasis atau reseksi paru.
  4. Meningkatnya permiabelitas kapiler pleura. Keadaan ini diakibatkan oleh peradangan pleura, misalnya pada efusi pleura akibat tuberculosis atau penyakit keganasan.
  5. Terhambatnya aliran getah bening akibat tumor atau fibrosis paru
  6. Masuknya cairan  dari rongga peritoneum akibat asites.



Light mengelompokkan efusi pleura dalam eksudat dan transudat, disebut eksudat bila memenuhi satu dari 3 kriteria berikut:
  1. Kadar absolut LDH > 200 iu
  2. Rasio LDH pleura dan serum 0,6
  3. Rasio protein pleura dan serum 0,5      









Gambar 3:  Gambaran radiologis efusi pleura






















Gambar 4:  Efusi pleura
 


Tabel 1 Analisis cairan pleura
Kriteria
Eksudat

Transudat

Kadar protein
  Rasio protein pleura/serum
      > 30 g/l
      > 0,5
      < 30 g/l
      < 0,5
Berat jenis
      > 1,016
      < 1,016
Kadar LDH
  Rasio LDH pleura/serum
      > 200 IU/l
      > 0,6
      < 200 IU/l
      < 0,6
Kadar kolesterol
  Rasio kolesterol pleura/serum
      > 60 mg/dl
      > 0,3
      < 60 mg/dl
      < 0,3
Derajat albumin serum/efusi
      < 1,2 g/dl
      > 1,2 g/dl
Rasio bilirubin pleura/serum
      > 0,6
      < 0,6
Kadar prostaglandin E
      > 50 mg/ml
      < 50 mg/ml
Kadar RBC
      > 10/lpb
      < 10/lpb



Tabel 2 Penyebab efusi pleura
Penyakit/Kondisi
Frekuensi (%)
Penyebab
Gagal jantung kongestif
Sirosis hepatis
Sindroma nefrotik
Penyebab lain
   Dialisis peritoneal berkelanjutan
   Hipoalbuminemia
   Urinothorax
   Atelektasis
   Perikarditis konstriktiva
   Sindrom vena vava superior
   Sarkoidosis
   Emboli paru
80
8
4
8
Peningkatan tekanan hidrostatik













EFUSI PLEURA

 












Efusi pleura dengan etiologi tak jelas
Follow-up priodik
Biopsi terbuka pada kasus khusus
 
 





















Gambar 5:  Algoritma diagnosis efusi pleura










 













 


 


 


Gambar 6 Tindakan terhadap efusi pleura

 



EFUSI PLEURA DAN PNEUMOTORAK :

PENDEKATAN PRAKTIS DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN


Prof.Dr.Zulkarnain Dahlan,SpPD-KP

Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
R.S. Hasan Sadikin/UNPAD Bandung

ABSTRAK
Efusi pleura (EP) dan pneumotorak (PNK) merupakan 2 bentuk penyakit pleura yang sering dijumpai. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya pengisian rongga torak oleh 2 substansi yang berbeda yaitu cairan (EP) atau udara (PNT). Penyakit ini bisa dijumpai secara sendiri sendiri, namun bisa dijumpai secara bersamaan. Penyebab keluhan respiratorik disebabkan oleh penyakit dasarnya disamping disebabkan oleh cairan atau udara itu sendiri. Sebagian dari penyebab efusi pleura bisa diduga secara klinik, tetapi umumnya diperlukan analisis cairan pleura untuk penegakan diagnosis. Perlu dibedakan antara EF transudat, dengan  eksudat yang disebabkan oleh penyakit yang memerlukan tindakan lebih lanjut. Perlu diketahui penyebab EF terutama EF eksudatif hingga dapat dimulai pemberian terapi kausal. Pengosongan cairan dan pencegahan rekurensi dapat dikerjakan dengan berbagai cara, namun tindakan yang akan dilakukan harus cepat diputuskan agar tidak terlanjur terjadi proses penyakit yang akan mempersulit tindakan intervensi yang perlu dilakukan.

PENDAHULUAN
EP dan PNT merupakan 2 bentuk penyakit pleura yang sering dijumpai. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya pengisian rongga torak oleh 2 substansi yang berbeda yaitu cairan (EP) atau udara (PNT) hingga dibicarakan secara sendiri sendiri, namun bisa dijumpai secara bersamaan hingga kedua hal ini dibicarakan sebagai suatu kesatuan klinik. EP merupakan istilah umum untuk dugaan adanya cairan di ronga torak sebelum diketahui karakteristik cairan tersebut. Penyebabnya banyak dan bervariasi hingga diperlukan suatu cara pendekatan  yang tepat untuk penegakkan diagnosisnya.
            Uraian penyakit ini bisa luas, namun sebagai materi dari suatu pelatihan pada makalah ini uraian disampaikan sebagai suatu pendekatan penyakit agar dapat menjadi menjadi suatu bahan  acuan dalam upaya penatalaksanaannya. Penyampaian materi akan  difokuskan pada uraian penyakit dalam kerangka tatalaksana sehari- hari.
Penatalaksanaan EP dan PNT tergantung kepada penyebabnya. Sesak nafas yang dijumpai pada EP tidak selalu langsung teratasi dengan aspirasi cairan karena hal ini mungkin disebabkan oleh penyakit lain. Diketahui berbagai cara untuk mengeringkan efusi dan mencegah rekuruensi, tapi putusan mengenai tindakan yang akan diambil perlu segera diambil hingga proses penyakit tidak akan progresif kepada tingkat  yang menyulitkan dalam melakukan intervensi terhadap penyakit. 
Secara klinis dipakai istilah efusi pleura, pneumototrak dan hidropneumotorak. Efusi Pleura dapat disebabkan oleh variasi penyebab yang luas oleh penyebab lokal biasanya berupa eksudat (cairan radang) dan sistemik berupa transudat (cairan fisiologik). Pneumototrak. dapat  disertai dengan pengisian  udara pada  bagian- bagian lain dari rongga torak atau jaringan sekitar (pneumo mediastinum, pneumointerstitialis, pneumo subkutan). Hidropneumotorak terdapat cairan dan udara secara bersamaan dalam rongga torak.

EFUSI PLEURA
Pendekatan masalah dapat dilakukan secara sistematik berupa(1,2) 
I.             Pemikiran adanya EP dan/ atau PNT
II.          Evaluasi EP untuk tindakan torakosentesis 
III.       Tindakan torakosentesis
IV.       Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada cairan pleura 
V.          Bagaimana penegakkan diagnosis
VI.       Kapankah tes khusus dan prosedur invasif terindikasi untuk penegakkan diagnosis etiologi 
VII.    Tatalaksana efusi pleura
VIII. Pencegahan rekurensi

I . Pemikiran adanya EP dan/ atau PNT

Gambaran Klinik dapat berupa gangguan ringan tanpa gejala sampai kepada keadaan yang mengancam jiwa.

1.1. Gejala respiratorik dapat berupa(1,2) :
 a.  Sesak nafas, yang  merupakan gejala tersering pada EP yang dijumpai akibat kompresi cairan pada paru yang mengakibatkan shunt regional dan pada area yang terkena terjadi penurunan rasio ventilasi/ perfusi. Efusi dapat menyebabkan pendorongan mediastinum, dinding torak, dan diafragma.
Dapat dijumpai  hipoksia ringan yang mudah dikoreksi dengan pemberian O2, namun sering sesak nafas tidak hilang sama sekali. Hal ini terjadi akibat distorsi diafragma dan dinding dada saat respirasi. Sesak nafas dapat hilang bila telah dilakukan torakosentesis., atau hanya berkurang  saja karena adanya penyakit dasar seperti obstruksi endobronkhial oleh tumor atau benda asing, penyakit paru kronik ataupun penyakit paru jantung kongestif. Foto torak pasca torakosentesis dapat membantu mengungkap penyebabnya.
      Aspirasi cairan akan mengurangi gejala meskipun  perubahan adalah minimal saja.
b.   Batuk yang sering, dapat berkaitan dengan infeksi saluran nafas bawah atau tumor endobronkhial.
c.   Nyeri dada dapat disebabkan inflamasi pleura, metastasis tumor pada dinding torak, atau emboli paru.
d.   Bisa didapatkan fokal fremitus yang menurun, perkusi
torak pekak dan penurunan suara nafas vesikuler.

1.2. Gejala non respiratorik
Pemeriksaan radiologi. Dapat membantu diagnosis adanya EP dan penyebabnya. Pada foto torak PA dan lateral akan terlihat sudut kostophrenik yang tumpul bila terdapat cairan > 150 ml. EP subpulmonik akan dicurigai bila dijumpai pada foto  tegak gambaran elevasi hemitorak, pergeseran kubah diafragma ke lateral, dan peningkatan jarak antara hemidiafragma kiri dan udara di lambung. Pada foto tegak efusi dalam jumlah sedang atau lebih banyak mungkin tidak terdeteksi bila tidak dicermati adanya karakteristik radiografi berupa peningkatan bayangan radioopak pada lapangan paru bawah. Pada jumlah cairan yang sedikit dengan foto torak dekubitus lateral akan terlihat lapisan cairan yang bebas bergerak pada bagian samping torak. Bila tebal cairan 1 cm efusi akan dapat diambil dengan torakosentesis, dan tidak dijumpainya gambaran tersebut kemungkinan menunjukkan adanya EP terlokalisir.
Menurut gambaran klinik, termasuk radiologi, EKG dan laboratorium dasar didapatkan sebagian kecil EF ditimbulkan oleh penyakit sistemik non respiratori yang tidak memerlukan tindakan (misalnya EP bilateral akibat gagal jantung kongestif), sedangkan sebagian terbesar perlu ditelusuri dengan analisis cairan dengan yang diambil dengan cara torakosentesis dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
Ultrasonografi (USG), bermanfaat untyuk membantu diagnosis dan torakosentesis. USG lebih baik daripada foto torak dalam menentukan EP yang terlokalisir, dan kelainan subpulmonik atau subprenikus (2).
CT Scan, dapat membedakan adanya EP, EP terlokalisir, masa pleura, empiema, abses paru.


II. Evaluasi EP untuk tindakan torakosentesis

Dalam beberapa hal gambaran klinik telah menunjukkan etiologi yang jelas dari EP misalnya oleh penyakit jantung kongestif. Namun seringkali penyebab dan gambaran klinik tidak jelas hingga harus dilakukan torakosentesis dan pengambilan cairan bila efusi melebihi >150 ml, sesuai kebutuhan untuk diagnostik  atau untuk meringankan rasa sesak bila cairan banyak.

III. Tindakan torakosentesis

Indikasi torakosentesis adalah (2) :
  1. efusi parapneumonik yang mengalami komplikasi atau empiema
  2. mengurangi rasa sesak nafas
  3. evaluasi dasar penyakit paru kronik

Pada tindakan torakosentesis perlu diperhatikan :
-          cara aspirasi cairan dengan terarah jarum yang miring. 
-          dikeluarkan cairan EP sampai 1000- 1200 ml sekali ambil
-          lakukan monitoring dengan oxymeter agar saturasi >90%. Pasca torakosenstesis dapat hipoksemia terjadi akibat reaksi paradoksal pada perluasan area dengan rasio V/Q yang rendah, dan edem paru unilateral akibat reekpansi paru.
-          dapat dilakukan aspirasi ulangan bila ada indikasi, namun bila selalu terbentuk cairan kembali perlu dipertimbangkan tindakan pleurodesis.

IV. Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada cairan
 pleura (1-6)
4.1 Secara fisik cairan dapat berupa serous (jernih sampai gelap, transparan sampai keruh), serosanguinous (kemerahan), hemorhagik (darah), purulen ( berbau busuk pada infeksi anaerob), chylous (seperti susu), coklat (abses paru yang mengalami perforasi), hitam (infeksi aspergillus) atau hijau kekuningan (pleuritis reumatik atau efusi pankreatik).  Hasil limfositosis dari diferensiasi sel cairan menyokong kearah penyakit kronik misalnya TB pleura.
4.2 Pemeriksaan kimiawi, dengan  memakai  kriteria  Light  dkk (1972)(2) untuk membedakan karakteristik cairan berdasarkan:
1.      rasio protein cairan/ serum >0,5
2.      rasio LDH cairan/  serum >0,6
3.      LDH cairan >0,6 nilai serum normal (biasanya dipakai nilai batas 200 IU/ ml)
Cairan adalah eksudat bila salah satu nilai positif, dan transudat bila semuanya negatif. Kriteria Light menunjukkan nilai sensitivitas 99% dan spesifisitas 98% untuk eksudat.
4.3 Penanda kimia lain adalah kadar kholesterol, tetapi tidak   
lebih baik daripada protein dan LDH. Kadar glukosa yang rendah dapat dijumpai pada TB, empiema, tumor yang mengenai pleura. Kadar amylase yang tinggi dapat dijumpai pada 10% daripada efusi maligna. Hasil pengukuran pH 7,3 (normal : 7,64) menunjukkan proses inflamasi atau infiltratif a.l. efusi pleuropneumonik, empiema, kanker, penyakit jaringan ikat,TB dan ruptur esofagus.
4.4 Kadar adenosine diamine cendrung lebih tinggi pada EP TB (>70 U/L) daripada penyebab lainnya. Harga abnormal juga dijumpai pada pleuritis rematik dan empiema (40 – 70 U/L).
4.5 Petanda tumor, petanda tumor mempunyai kemanfaatan  
terbatas, dengan petanda kombinasi untuk 3 jenis petanda tumor yaitu CEA (carcinoembryonic antigen), cytokeratin 19- fragment (Cypra 21-1), dan tissue polypeptide antigen (TPA-M) memberikan nilai sensitivitas sebesar 85,7% dan spesifitas 59,1%. Pada mesothelioma CEA pleura tidak dijumpai meninggi dengan nilai spesifitas 90%, hingga hal ini dapat dipakai pada pada keadaan yang sulit sebagai suatu cara ekslusifitas penyakit. (1,3) 
4.6 Sitopatologi, dapat menunjukkan  gambaran  yang  ‘spesifik’
untuk infeksi mikobakterium dengan a.l. adanya sel datia langhans, atau sel kanker. Dengan pemeriksaan imunohistokimia menggunakan poliklonal dan monoklonal anti- CEA terhadap sampel pleura diagnosis pasti mesotelioma dapat ditegakkan. (3)
4.7 Analisa  molekuler  DNA   mikobakterium yang   dikandung
dalam EP. Pemeriksaan dengan metoda PCR terhadap gen 16S rDNA yang universal untuk mikobakterium, diikuti sekuensing dan uji banding dengan sekuens  berbagai spesies mikobakterium yang mirip dengan arsip dari NCBI (National Center for Biomolecular Information) di USA,  dapat diungkapkan spesies mikobakterium yang ada di efusi pasien tersangka TB pleura.

V. Bagaimana Penegakan diagnosis

Penegakan diagnosis berdasarkan data- data yang telah ada  dapat dilakukan secara umum berdasarkan alur seperti terlihat pada Bagan/ Flow Chart 1.  Banyak sekali keadaan dapat menimbulkan EP.(4)
Yang paling sering dijumpai adalah seperti TB, keganasan dan pneumonia seperti tercantum pada Tabel 1.(1,2)  Disamping itu dapat juga disebabkan oleh obat misalnya yang menimbulkan sindroma lupus (procainamide, hydralazine, quinidine).











































Gambar 1.Flow Chart  – Diagnostic Approach To Pleural effusions(4)
Tabel 1 – Penyebab Tersering Dari Efusi Pleura  (R1)

 

Penyebab  dari Transudat

. Bendungan jantung
. Sindroma nefrotik
. Sirosis hepatis
. Hipoalbuminemia
. Atelektasis (dini)
. Dialisis peritoneal

Penyebab Tersering dari Eksudat

. Tuberkulosis
. Parapneumonia
. Keganasan
. Penyakit kolagen (arthritis rematik, lupus eritematosus)
. Khilotorak
. Hemotorak
. Pankreatitis
. Abses diafragmatika
. Emboli paru
. Perforasi esofagus
. Sindroma Meig


Dengan pemeriksaan kimiawi dapat diperoleh gambaran umum mengenai penyebab eksudat dan transudat seperti terlihat pada Tabel 2.


Tabel 2 – Diferensiasi antara eksudat dan transudat .(5)

Diferensiasi  Antara Transudate dan Eksudat
Parameter
Transudat
Eksudat
Protein total (TP)
Rasio TP pleura /TP serum
LDH
Rasio LDH pl/ LDH serum
Cholesterol
Serum bilirubin pleura : serum
<30gr/L
< 0,5
<200 U/L
< 0,6
<60 mg/dL
< 0,6
>30 gr/L
> 0,5
> 200 U/L
> 0,6
> 60  mg/dl
> 0,6



VI. Kapankah tes khusus dan prosedur invasif terindikasi  
      untuk penegakkan diagnosis etiologi 

       Pemeriksaan khusus dianjurkan bila diduga adanya penyebab tertentu  seperti terlihat pada Tabel 3.






Tabel 3 – Tes Khusus Untuk Penegakan Diagnosis Efusi Pleura (1)

No
Jenis Tes
Diagnosis
1
Carcinoembryonic Ag (> 10 ng/ ml)
Keganasan
2
Adenosine deaminase > 43 U/L
Pleuritis TB
3
Triglycerida >110   mg/dl
Khilotorak
4


Amilasi > 200 U/ dl
Perforasi esofagus, keganasan, penyakit pankreas, kehamilan ektopik yang pecah

Isoenzym : ludah
Penyakit  esofagus, keganasan

Isoenzym: pankreatik
Pankreatitis, pseudokista pankreas
5
Faktor  rematik   ³ 1: 320 dan ³ 1 titer serum       
Efusi rematik
6
Antibodi  antinuklir (ANA)
³ 1: 160 dan ³ titer serum
Pleuriitis lupus

Pada 15-25 % kasus EP eksudatif etiologi tetap belum diketahui meskipun telah dilakukan serial torakosentesis, sitologi dan biopsi pleura. Pada pasien ini perlu dilakukan scan ventilasi- perfusi untuk melihat kemungkinan adanya emboli paru.
6.1    Biopsi pleura (BP). Lebih jarang dikerjakan setelah dapat dilakukan pemeriksaan petanda serum dan torakoskopi. BP dilakukan terutama bila petanda yang lain misalnya petanda ADA atau petanda tumor negatif.
6.2    Torakoskopi. Cara ini memberikan keuntungan evaluasi visual dari pleura, pengambilan sampel jaringan secara lansung, dan intervensi terapeutik (diseksi lokuler, dan pleurodesis). Medical thoracoscopy (dalam sedasi sadar), video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) diindikasikan untuk diagnosis EP yang tetap belum terdiagnosis dengan metoda yang kurang invasif (torakosentesis).(2)

VII. Tatalaksana efusi pleura

        Tergantung etiologi EP, berat ringannya proses, keadaan pasien, dan fasilitas yang tersedia. Hal yang menjadi tujuan terapi adalah :
1.      Terapi paliatif terhadap gejala (nyeri , sesak nafas)
2.      Terapi terhadap penyakit dasar
3.      pencegahan fibrosis pleura dengan penurunan fungsi paru
4.      pencegahan kekambuhan

7.1 Terapi paliatif terhadap gejala (nyeri , sesak nafas)
Torakosentesis untuk pengeluaran cairan EP biasanya mencukupi untuk mengurangi keluhan. Pada tindakan ini harus dihindari komplikasi berupa pneumotorak, hemotorak, dan emfisema subkutan.

7.2 Terapi terhadap penyakit dasar
Efusi parapneumonik. Dijumpai pada 52% pneumonia. EP eksudatif merupakan indikasi EP yang harus cepat didiagnosis.  Urgensi pengosongan segera rongga torak terlihat dari adanya cairan yang purulen, pH cairan < 7,2, sediaan Gram yang positif dan adanya efusi yang terlokalisir.(1) Hal tersebut memberikan prognosis yang buruk. Antibiotik secara empirik harus segera diberikan dan segera dipasang WSD karena fibrosis atau efusi multilokal akan cepat terjadi.


Tabel 4. Risiko Prediktor Pada Efusi Parapneumonik
               Dengan Indikasi Pemasangan WSD Atau Prosedur Invasif Lainnya .(3,4)

. Efusi pleura yang banyak (1/2 hemitorak)
. Efusi terlokalisir
. Pewarnaan Gram positif dari cairan pleura
. Kultur kuman dari cairan positif
. Cairan keruh atau pus
. ph cairan < 7,2
Dapat diberikan fibrinolitik intrapleural seperti streptokinase dan urokinase melalui  WSD untuk melancarkan pengosongan cairan efusi. Tindakan bedah dengan VATS diperlukan bila tindakan medik tidak berhasil. Torakotomi diperlukan untuk melakukan dekortikasi pada efusi parapneumonik dengan perlengketan. Bila perlu dilakukan pleurodesis.

Tabel 5 - Metoda Terapi Efusi Parapneumonik dan Empiema (3)


Medik
. antibiotik
. torakosentesis tiap hari
. slang torakostomi (WSD)
. pemberian fibrinolitik intrapleural
. pengisapan cairan
. torakoskopi medik

Bedah
. video- assisted thoracoscopic surgery
. torakotomi standart
. pengosongan (drainasi) terbuka
VIII. Pencegahan rekurensi (7)
Strategi pencegahan rekurensi yang tepat tergantung kepada tipe EP.  Pada efusi maligna rekurensi terutama terjadi pada kanker paru dan kanker metastatik Ca mammae. PH <7,3 dapat meramalkan masa hidup sekitar 2 bulan. Pada pasien ini dapat dilakukan pleurodesis untuk mencegah rekurensi, dengan menggunakan talc, bleomycin sulfat, tetrasiklin atau doxycycline yang menyebabkan sklerosis rongga pleura.
Pada efusi non maligna terkadang rekurensi terjadi pada asites yang banyak yang disertai EP sekunder. Tekanan tinggi pada rongga perut yang terkait dengan distensi asites dan tekanan negatif torak saat inspirasi, akan mnyebabkan mengalirnya asites melalui cacat  diafragma ke rongga pleura. Bila terapi pengontrolan asites tidak berhasil dapat dilakukan sklerosis pleural atau terapi pembedahan. Pada khilotorak terjadi akumulasi limfe di rongga torak karena pecahnya d toraksikus.

PNEUMOTORAK
1. Pneumotorak
Hal-hal yang menimbulkan kebocoran dari pleura



Tabel 6 – Klasifikas Pneumotorak (3)


Traumatik/ Iatrogenic
-          torakosentesis
-          ventilasi mekanik
Spontan :
-          primer (tidak disertai penyakit dasar paru)
-          sekunder (disertai penyakit dasar paru) :

      . Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
      . infeksi
            . keganasan

Insidensi PNT spontan primer lebih sering pada usia <40 tahun dan risiko relatif meningkat pada perokok berat. Insidensi PNT spontan sekunder mempunyai prognosa yang tidak baik karena disertai oleh paru dalam berada dalam kondisi yang sudak terganggu, terutama oleh PPOK dan infeksi. PNT yang terkait dengan trauma dapat disebabkan oleh PNT terbuka, atau PNT tertutup (PNT ventil ) yang disertai dengan tekanan intrapleura yang lebih tinggi dari tekanan atmosfir. Pada keadaan ini perlu dipasang WSD hingga kebocoran pleura teratasi. Pada Tabel 7 dapat dilihat pedoman terapi PNT yang diajukan oleh ACCP.(3)  Pedoman ACCP ini juga merekomendasikan intervensi bedah (berupa torakoskopi dengan bulektomi) untuk mencegah rekurensi PNT sekunder.
Table 7. Management of Spontaneous PneumothoraxACCP(3)

Primary Spontaneous Pneumothorax
Secondary Spontaneous Pneumothorax
·          Stable patients with small pneumothoraces
o   Observation in the emergency department for 3 to 6 Hours
o   Discharge home if a repeat chest radiograph excludes progression
o   Follow-up within 12-48 hours with repeat chest radiograph to document resolution
·        Stable patients with large pneumothoraces
o   Hospitalization
o   Re-expansion of lung using a small-bore catheter or placing a 16F to 22F chest tube
o   Suction if lung fails to re-expand
·        Unstable patients with large pneumothoraces
o   Hospitalization
o   Chest tube placement with 16F to 22F standard chest tube
o   Use 24F to 28F chest tube if patient has a large air leak or requires positive-pressure ventilation
o   All patients should be hospitalized
o   Observation or treatment with a chest tube, depending on the extent of the symptoms and the course of the pneumothorax



KEPUSTAKAAN
1.      Rubins JB, Colice GL. Evaluating pleural effusion. Postgraduate Med 1999 ;105(5) : 1-11. http://www.postgraduatemed.com/issues/1999/05­_01_99/rubins.htm
2.      Cleveland Clinic. Pleural Disease. 2006.
3.      Pleural Diseases. Loddenkemper R, Antony VB. Eur Resp Monograph 2002; 7(22): 110-6, 204- 218.
4.      Light RW. Disorders of the pleura, mediastinum, diaphragma an chest wall. In Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Ed. McGraw- Hill,New York. 2005 ; Vol. II: 1565 – 9.
5.      Albert RK, Spiro SG, Jett JR. Comprehensive respiratory medicine. Mosby London, 1999; Ch. 65;65.1- 4; 66: 66.1- 66.10.
6.      Practical management of pleural effusion. Postgraduate Med 1999 ;105(7) : 1-10. http://www.postgraduatemed.com/issues/1999/05­_01_99/colice.htm


PERANAN TORAKOSKOPI DALAM MANAJEMEN  PENYAKIT PLEURA

Dr.Sumardi,SpPD-KP
Sub Bagian Pulmonologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UGM/SMF Paru RS Dr. Sardjito
Yogyakarta

Menentukan diagnosis banding pada penyakit pleura merupakan proses yang panjang dan kadang dapat meragukan. Keganasan pada pleura hanya didapatkan 50% bila menggunakan sitologi cairan pleura. Biopsi pleura hanya mendapatkan hasil diagnostik antara 50 sampai dengan 60% (Prakash dan Reinmann 1985; Kennedy dan Sahn 1995). Boutin et al. (1981) melaporkan, bahwa dari 1000 pasien dengan efusi pleura, pada 215 pasien dilakukan torakoskopi, diagnosis dapat ditegakkan pada 97% pasien. Hasil diagnostik dengan torakoskopi medik menunjukkan ketepatan yang tinggi, terutama pada efusi pleura yang malignan. Hasil tersebut sesuai juga dengan hasil penelitian dari Loddenkemper dan Boutin (1993)dimana 95% dapat ditegakkan diagnosisnya, demikian juga dari penelitian Blanc et al. (2002) didapat ketepatan diagnosis antara 93.3% dan penelitian Colt (1999) didapat ketepatan diagnosis 90–100%. Pada banyak kasus, sensitifitas torakoskopi untuk mendeteksi keganasan pleura lebih tinggi dibanding dengan menggunakan biopsi pleura perkutan, atau dengan menggunakan cara sitologi cairan pleura. Untuk menentukan stadium dari karsinoma bronkhial dan mesotelioma difus dapat digunakan torakoskopi (Loddenkemper dan Boutin, 1993; Haris, et al., 1995)
Secara endoskopik dengan menggunakan torakoskopi medik, lesi pada pleura yang dicurigai sebagai keganasan mencapai 86% dari kasus. Gambaran endoskopik berupa nodul, polipoid, massa, penebalan pleura dan bentuk seperti tetesan lilin (candle wax drops)(Boutin et al., 1983).

INDIKASI DILAKUKAN TORAKOSKOPI MEDIK

Torakoskopi biasa dilakukan setelah dua sampai 3 kali dilakukan torokosentesis. Torakoskopi medik dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal atau regional, bila keadaan penderita memungkinkan, dapat dilakukan dibawah anestesi umum (Mathur et al., 1995).
Indikasi utama torakoskopi medik adalah untuk menentukan diagnosis pasti pada penyakit pleura, apabila dengan sitologi cairan pleura dan biopsi pleura hasilnya masih meragukan. Indikasi lainnya adalah terapi alternatif bila terapi medikamentosa tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, misalnya pada efusi parapneumonia kategori 3 dan 4, pleurodesis dengan tepung bedak (Haris et al., 1995; Light, 2005).
PERSIAPAN PASIEN SEBELUM DILAKUKAN TORAKOSKOPI  MEDIK (APSR 2005)

1.         Foto rontgen dada posteroanterior dan lateral, bila diperlukan dilakukan USG paru untuk menentukan area torakoskopi.
2.         Spirometer, obstruksi ringan dan atau konstriksi ringan
3.         Saturasi oksigen lebih dari 92%
4.         Analisis gas darah, tekanan Oksigen arterial lebih dari 60 torr.
5.         Waktu perdarahan dan penjendalan darah dalam batas normal.
6.         Hemoglobin lebih dari 10 gr%
7.         Albumin plasma lebih dari 2,5 gr%
8.         Kesadaran kompos mentis
9.         Indeks Risiko Kardial klas 2 atau 1
10.      Persiapkan Continuous WSD
11.      Tidak ada kelainan hati dan ginjal yang berat
12.      Inform consent
PROSEDUR TORAKOSKOPI MEDIK (Mathur et al., 1995;APSR 2005)

1.         Dilakukan diruang tindakan bedah minor atau ruangan endoskopik di gedung bedah sentral
2.         Desinfeksi area torakoskopi pada SIC 5 linea thoracalis media atau sesuai hasil USG torak.
3.         Area torakoskopi dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 2% 4 sampai 5 ampul.
4.         Area ditutup dengan kain steril (doek) berlubang
5.         Insisi dilakukan pada kulit sepanjang 2-3 cm, jaringan subkutan dilebarkan secara tumpul.
6.         Trokart torakoskopi dimasukkan melalui sayatan kulit sampai menembus pleura, sentral trokart (mandrein) dilepas diganti torakoskop, kabel lampu dipasang ke torakoskop
7.         Operator melihat melalui torakoskop, setelah jelas melihat kedalam rongga pleura, kabel konektor ke monitor dipasang ke torakoskop
8.         Operator mengamati kondisi pleura melalui monitor
9.         Bila didapatkan kelainan yang mencurigakan, melalui lubang torakoskop dimasukkan alat biopsi
10.     Biopsi dipantau melalui monitor
11.     Setelah biopsi, alat dilepas, selanjutnya torakoskop dilepas, trokart dilepas diganti drain torak dan fiksasi pada kulit dada dengan 2 jahitan.
12.     Drain torak dihubungkan ke Continuous WSD.
13.     Tanda vital dipantau tiap jam selama 6jam pertama, selanjutnya tiap 6 jam.
Pada efusi parapneumonia, sering ditemukan fibrin dan bridging. Dapat dilakukan koterisasi pada bridging secara hati-hati, karena kadang terjadi perdarahan. Pada bridging yang tebal, bahaya dilakukan koterisasi karena vaskularisasi sudah banyak, perdarahan sukar diatasi, sehingga perlu konsultasi atau pendampingan bedah torak.











KEPUSTAKAAN
1.  APSR 2005 Guangzhou Workshop on Pleural Disease
     Blanc et al. 2002 Diagnostic Value of Medical Thoracoscopy
     in Pleural Disease : A 6-Year Retrospective Study Chest
     121;1677-1683
2.  Boutin et al. 1983 Prospective evaluation of biopsy methods
     in the diagnosis of malignant  pleural effusions: intrapatient
     comparison  between pleural fluid cytology, blind needle
     biopsy, and thoracoscopy. Am Rev Respir Dis 1983;  
     127(suppl 4):114
3.  Colt 1999 Thoracoscopy: window to the pleural space. Chest
     1999;116: 1409–1415.
4.  Haris, et al., 1995 The impact of thoracoscopy on the
     management of pleural disease. Chest  107:845–852
5.  Kennedy dan Sahn 1995. Noninvasive evaluation of the
     patient with a pleural effusion. Chest Surg Clin N Am 
     4:451–465
6.  Light, 2005 Inflamation Pleural Effusion: Guideline and
     perspective.Workshop on Pleural Diseases. 10th Congress of
     APSR and ACCP Guangzhou 2005
7.  Loddenkemper dan Boutin 1993 Thoracoscopy: present
     diagnostic and therapeutic indications. Eur Respir J 1993; 6:
     1544–1555.
8.  Mathur et al., 1995 Medical thoracoscopy: technical details.
     Clin Chest Med  16:479–486
9.  Prakash and Reinmann 1985  Comparison of needle biopsy
     with cytologic analysis for the evaluation of pleural
     effusions: analysis of 414 cases. Mayo Clin Proc 60:158–164

















WATER SEALED DRAINAGE

ASPIRASI DAN PROSEDUR

Dr Zen Ahmad SpPD-KP, Dr. Joni Anwar,SpP

Divisi Pulmonologi Bagian Penyakit Dalam RSMH
 Palembang

Definisi

Pengaliran udara atau cairan dari rongga pleura dengan pemakaian selang yang ditusuk-kan pada sela iga.
Indikasi :
-    Pneumotoraks
-    Empiema
-    Efusi pleura (hematotoraks, parapneumonia atau efusi ganas)
-    Paska torakotomi
-    Pleurodesis










 



 

 

 






Gambar 1:  Rongga pleura normal (A) dan adanya efusi pleura (B), yang indikasi
                     pemasangan WSD








Gambar 2:  Gambaran radiologis efusi pleura

 

 

 

 

Gambar 3:  Gambaran radiologis pneumotorak

 

Kontra Indikasi

a.  Absolut: tidak ada
b. Relatif
o   Koagulopati
o   Infeksi kulit
o   Kondisi yang jelek (Unstable), misalnya pada pemakaian
      ventilator.
o   Persiapan:

a. alat

-    Betadin dan alkohol 70%
-    Kasa steril
-    Sarung tangan steril
-    Spuit 5cc
-    Lidokain 2 ampul
-    Alat bedah minor (mess scalpel, gunting, needle hecting) dan benang zyde
-    Trokard beserta main drain
-    NGT nomor 16
-    Transfusi set
-    Botol WSD berisi desinfektan
-    Plester












Gambar 4:  Alat-alat yang digunakan untuk pemasangan Water Sealed Drainage
Gambar 5:  Jarum yang digunakan untuk insersi

 










premedikasi
Premedikasi tidak rutin dilakukan pada pemasangan WSD. Pada pasien yang sangat ce-mas dapat diberikan Sulfas atropin 0,5mg
tiga puluh menit sebelum tindakan dilakukan.
Cara Kerja :
1.  Posisi pasien duduk, dengan sisi yang sakit menghadap
     kearah operator. Tangan sisi paru yang sakit diangkat keatas     
     kepala (gambar 6)
2.      Lihat foto torak secara cermat dan lakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan batas cairan/udara. Biasanya pada sela iga 7 atau 8 bagian belakang untuk cairan, atau sela iga 2 bagian depan untuk udara (gambar 6).
3.      Lakukan tindakan antiseptik pada tempat yang akan dipasang WSD dengan meng-gunakan betadine dan alkohol 70%.
4.      Lakukan anestesi lokal pada tempat yang akan dipasang WSD dengan lidokain. Anestesi dilakukan lapis demi lapis, mulai dari kulit sampai pleura parietalis sambil dilakukan aspirasi.. Kedalaman jarum suntik sampai tembus ke rongga pleura dipakai untuk patokan pemasangan trokard (gambar 7).
5.      Lakukan sayatan kulit memanjang sejajar tulang iga, pada tempat yang sudah dianestesi (± 1 sampai 1,5 cm atau selebar diameter trokard).
6.      Masukkan trokard bersama selongsongnya secara tegak lurus sampai menembus rongga pleura.
7.      Cabut trokard dan masukkan selang NGT melalui selongsong trokard.
8.      Hubungkan NGT dengan selang transfusi set. Ujung selang transfusi set harus terendam dalam larutan betadin yang ada dibotol WSD (± 2cm dari permukaan air) (gambar 8).
9.      Lakukan fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac, lalu tutup dengan kasa steril yang telah diberi betadin dan fiksasi kedinding dada dengan plester (gambar 9)
Note:  selama penjahitan, selang WSD ditutup.

Tempat insersi pada pneumotorak
 
Gambar 6:  Posisi pasien pada pemasangan WSD

Pasien duduk, dengan sisi yang sakit menghadap kearah operator. Tangan sisi paru yang sakit diangkat keatas kepala (ganbar kanan) atau terlentang diatas meja (gambar kiri). Posisi trokard biasanya disela  iga 7 atau 8 bagian posterior untuk efusi pleura atau sela iga 2 bagian depan untuk pneumotorak.









 

 

 





.
. 

 
 
                           








Gambar 7:  Anestesi lokal pada pemasangan WSD


Anestesi dilakukan lapis demi lapis, mulai dari kulit sampai pleura parietalis sambil dilakukan aspirasi.
Langsung lakukan fungsi percobaan menggunakan spuit tersebut.
 
 
















Gambar  8:  Botol WSD



















Gambar 9:  Tehnik jahitan tabbac sac


Jahitan dilakukan searah jarum jam dengan benang zyde rangkap dua. Buat dua simpul, satu simpul pada bagian atas dan satu simpul pada selang WSD.

Follow-up

Penting diperhatikan:
a. Undulasi
   Undulasi adalah pergerakan cairan didalam selang, sesuai irama pernapasan. Cairan akan bergerak kebawah sewaktu inspirasi dan bergerak keatas sewaktu ekspirasi.  Undulasi negatif dapat karena habisnya efusi  atau akibat terjepitnya selang WSD. Pada keadaan ini dapat dilakukan spooling dengan larutan NaCl 0,9%, bila setelah spoling cairan mengalir kembali berarti ada jepitan pada selang WSD, sebaliknya bila setelah spooling cairan tetap tidak mengalir berarti efusi sudah habis.
b.Buble
Gelembung udara yang terlihat didalam botol WSD. Lebih jelas bila pasien disuruh meniup.
c. Warna dan jumlah cairan yang keluar selama 24 jam
d.                                           Foto toraks ulang



Pencabutan WSD
-    Pencabutan WSD dilakukan bila paru-paru sudah mengembang penuh. Sebelumnya  lakukan uji coba dahulu dengan cara menjepit selang selama 24 jam, WSD dicabut bila paru tetap mengembang.
-    Luka bekas WSD diikat dengan benang zide dan ditutup dengan kasa steril yang diberi betadin 10%.
-    Pengembangan paru dapat dilihat dari:
a.Pemeriksaan fisik
b.Foto toraks ulang
c.Jumlah cairan per 24 jam kurang dari 100 cc dengan  
   undulasi  negatif.

Gambar 10:  Kondisi rongga pleura sebelum pemasangan WDD (A)  dan sesudah
                       pemasangan (B)
 

B

 

A

 

 

Komplikasi

Tindakan WSD sangat jarang menimbulkan komplikasi bila mengikuti prosedur. Kalaupun ada umumnya ringan atau tidak bergejala.
Beberapa komplikasi yang pernah dilaporkan, antara lain:
a.Pneumotorak
   Udara yang masuk kerongga pleura dapat berasal dari luar (melalui selang) atau dari   dalam (alveoli) akibat trokard menembus jaringan paru.
b.Hematotorak
   Terjadi akibat trokard mencederai a.interkostalis. Sering pada penderita usia tua, akibat penyempitan sela iga.
c.Vaso-vagal syncope
   Respons vaso-vagal ditandai dengan keluhan mual, muntah, pusing atau nyeri. Keadaan ini dapat terjadi pada pasien yang sangat cemas/gugup.
Tindakan yang harus dilakukan adalah menyetop tindakan dan membaringkan pasien beberapa menit.
d.Empiema
Terjadi akibat tindakan WSD yang tidak steril.
e.Laserasi hati/limpa
Akibat lokasi pemasangan WSD yang terlalu rendah
f.Penyebaran tumor
  Akibat trokard merobek tumor primer pada pleura (mesotelioma)
g.Nyeri
Nyeri dapat terjadi akibat tehnik anestesi lokal yang tidak benar atau pasiennya sangat sensitive.

h.   Emfisema sub-kutan

   Sering pada pneumotorak, akibat posisi pasien yang tidak

   ekstensi maksimal.






























INDIKASI DAN PROSEDUR PLEURODESIS
Dr.F.Hadi Halim,SpPD-KP
SMF Pulmonologi RS.RK Charitas Palembang


PENDAHULUAN
Definisi
Pleurodesis adalah suatu tindakan obliterasi artifisial terhadap rongga pleura.Pleurodesis ditujukan untuk menghindari terjadinya pneumotoraks atau efusi pleura berulang.1
Prosedur pleurodesis dilakukan dengan menggunakan “agen sklerosing” seperti talkum steril atau antibiotika kedalam rongga pleura dengan tujuan untuk membuat inflamasi antara pleura visceralis dan pleura parietalis, diharapkan inflamasi ini akan menyebabkan terjadinya perlengkatan pleura, sehingga mengeliminasi besarnya rongga pleura dan menghindari terjadinya reakumulasi cairan atau udara pada rongga pleura yang berlebihan.2
Tindakan pleurodesis dikerjakan pada penderita efusi pleura yang tidak dapat dikontrol atau efusi yang terus menerus terjadi setelah dilakukan torakosintesis,dan pneumotorak yang berulang atau pneumotorak yang tidak dapat dilakukan tindakan bedah.3,4,5,6
Terapi dengan pleurodesis dapat mengurangi angka kematian dan kesakitan, efek samping sedikit dan efektif untuk mengontrol akumulasi cairan pleura.7
Kebanyakan tindakan pleurodesis ini dilakukan pada efusi pleura maligna,hanya sebagian kecil saja karena pneumotoraks.6,7
Lebih lanjut dalam makalah ini akan dibahas tentang pleurodesis pada efusi pleura maligna.

AGEN SKLEROSING
Agen sklerosing dianggap optimal sebagai agen untuk pleurodesis bila memiliki sifat-sifat sebagai berikut : efektivitas yang tinggi, efek samping yang kecil, murah, mudah didapat dan mudah diberikan.8 Beberapa agen sklerosing yang dapat digunakan pada tindakan pleurodesis seperti : tetrasiklin, talkum steril, doksisiklin, bleomisin dan lain-lain.(Tabel 1) 9
     Tabel 1. Agen sklerosing








 





 Dikutip dari 9
Tetrasiklin
Penggunaan tetrasiklin sebagai agen sklerosing pada tindakan pleurodesis pertama kali diperkenalkan oleh Robinson dan Bolooky pada tahun 1964.4 Tetrasiklin dianggap aman diberikan, efektif,murah, mudah didapat, mudah pada penggunaannya dan efek toksiknya sedikit.Penelitian dengan menggunakan tetrasiklin sebagai agen sklerosing paling banyak dilakukan di USA dan Inggris, insiden terjadinya rekurensi cairan pleura hanya sedikit.10 Angka kesuksesan pleurodesis dengan menggunakan tetrasiklin 50-92%,rata-rata 65%.9 Efek samping seperti demam (10%) dan nyeri dada pleuritik (30%),biasanya bersifat sementara dan respon terhadap antipiretik dan analgetik.Dosis optimal untuk pemberian intrapleura 1,0-1,5 gram atau 20 mg/kgBB.7 Penelitian menggunakan dosis kecil 500 mg memberikan respons terapi yang kecil, namun belum ada bukti yang mendukung penggunaan tetrasiklin dalam dosis besar.9

Talkum Steril
Talkum dengan komposisi kimia Mg3Si4O10(OH)2,pertama kali digunakan sebagai agen sklerosing pada tahun 1935.Talkum yang digunakan harus bebas asbestos dan sudah disterilisasi dengan pemanasan kering, ethylene oxide dan radiasi gamma. Angka keberasilan pleurodesis dengan menggunakan talkum 88-100% dengan rata-rata 90%.
Efek samping yang biasa terjadi berupa nyeri dada dan demam.Komplikasi yang serius dapat berupa ARDS atau akut pneumonitis.
Dosis,jenis dan ukuran talkum merupakan hal yang penting diperhatikan untuk menghindari terjadinya efek samping.9

Bleomisin
Bleomisin adalah antineoplasma yang paling banyak digunakan dalam penatalaksanaan efusi pleura maligna.Cara kerjanya lebih kurang sama dengan talkum dan tetrasiklin,sebagai skelerosing.Walaupun 45% pemberian bleomisin diabsorpsi secara sistemik,tapi efek sampingnya hanya minimal atau tidak ada efek myelosupresif.
Bleomisin merupakan agen skelosing yang efektif, dengan angka keberhasilan 58-85% dengan rata-rata 61% setelah satu kali pemberian.
Efek samping yang ditimbulkan berupa demam,nyeri dada dan nausea.Dosis yang dianjurkan adalah 60 unit dicampur dengan normal saline.Kekurangan bleomisin adalah harganya mahal per pengobatan dibandingkan agen sklerosing yang lain dan memerlukan tenaga yang terlatih untuk melakukannya.9

Doksisiklin
Walaupun doksisiklin banyak digunakan di USA dan Eropa,tapi di Inggris tidak direkomendasikan untuk peggunaan intrapleura.Angka keberhasilannya 65-100% dengan rata-rata 76%.Efek samping seperti pada penggunaan tetrasiklin yaitu demam dan nyeri dada.Kelemahan doksisiklin adalah pemasangan berulang catheter untuk memperoleh hasil yang baik,hal ini memperpanjang pemasangan catheter atau pemasangan tube sehingga menyebabkan infeksi, ketidak nyamanan pasien dan meningkatkan biaya pengobatan.9

5 Fluorourasil
Penggunaan 5FU secara intrapleura, diberikan dengan dosis yang bervariasi 500 mg – 2 gr,dengan angka keberhasilan rata-rata 58%.Efek samping yang ditemukan biasanya nyeri sedangkan nyeri dan demam tidak pernah dilaporkan.11,12

MEKANISME
            Mekanisme terjadinya perlengketan antara pleura parietalis dan pleura viseralis belum diketahui dengan pasti.Diduga dengan pemberian agen sklerosing secara intrapleura yang merupakan rangsangan kimia yang dapat menyebabkan pleuritis, inflamasi yang membentuk adhesi pada permukaan pleura parietalis dan pleura visceralis.8 Dari berbagai penelitian diketahui bahwa pemberian tetrasiklin intrapleura dapat menghasilkan suatu media yang dapat merangsang sel-sel esotel mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti growth factor like activity (GFLA) yang dapat merangsang proliferasi sel-sel fibroblast dan dapat menimbulkan proses inflamasi pada rongga pleura sehingga menyebabkan obliterasi dan akhirnya menghambat reakumulasi cairan didalam rongga pleura.2,13 Media yang dihasilkan ini mempunyai pH bersifat asam 2-2,2. Beberapa ahli menyatakan bahwa pH asam inilah yang menyebabkan sel-sel mesotel terangsang dan mengeluarkan GFLA.Penelitian terhadap kelinci yang diberi solusio N hydrochloride acid 0,01 akan menghasilkan pH 2,3 namun keadaan ini tidak merangsang sel-sel mesotel mengeluarkan GFLA,sehingga peran pH yang asam dalam menimbulkan reaksi inflamasi tidak dapat dipertanggung jawabkan.13
            Growth factor like activity (GFLA) adalah suatu kompetitor tipe aktif, stabil pada keadaan panas dan dapat rusak dengan proses proteolisis, mengandung PDGF dengan berat molekul 31.000 dan dapat dihambat oleh anti PDGF antibodi.5 Dari suatu percobaan pada tikus yang membandingkan efek tetrasiklin dan bleomisin pada sel-sel mesotel pleura,dimana sel-sel mesotel yang terpapar dengan bleomisin 0,1 ug – 1 mg/ml tidak mengandung growth factor like activity yang dapat merangsang proliferasi fibroblast setelah 2-8 jam pemberian bleomisin.Hal ini menunjukkan bahwa proses sklerosis pleura yang disebabkan bleomisin melalui jalur yang lain belum diketahui.Namun dari penelitian lain diketahui bahwa bleomisin dapat menginduksi alveolar makrofag dimana dapat menghasilkan growth factor untuk proliferasi fibroblast pada dosis 0,1 ug-1 mg/ml.13 Pemberian nitrogen mustard,fluorourasil,thiotepa dan bleomisin intrapleura dapat menyebabkan tumor lisis,tetapi mekanisme yang lebih berperan pada proses sklerosis adalah iritasi pada pleura.14 Selain faktor-faktor tersebut,pada saat terjadi sklerosis pleura diketahui sel-sel mesotel juga memproduksi aktivator plasminogen yang akan merangsang terjadinya fibrinolisis.15 Pemberian substansi iritatif seperti tetrasiklin dan quinakrin pada efusi pleura maligna dapat menyebabkan reaksi inflamasi dan banyak dijumpai deposit-deposit fibrin.Mekanisme terjadinya deposit fibrin ini menurut beberapa peneliti disebabkan karena adanya ketidak seimbangan antara komponen aktivator dan inhibitor pada sistem fibrinolisis.Komponen aktivator yaitu D-Dimer menurun sedangkan kadar alpha 2 anti plasmin sedikit meningkat.Komponen inhibitor yaitu PAI kadarnya menurun sebelum diberikan terapi dan meningkat setelah diberi terapi.Keadaan ini menunjukkan bahwa D-Dimer menggambarkan aktivitas sistem fibrinolitik yang menurun selama pemberian terapi.Sehingga dari hipotesis ini diduga faktor-faktor ini dianggap turut berperan didalam terjadinya sklerosis pleura.16,17


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESUKSESAN PLEURODESIS

1.      Kemampuan paru untuk mengembang secara sempurna (dikonfirmasi dengan foto torak)
Penderita yang telah dipasang WSD dan ternyata pneumotorak akibat komplikasi pemasangan WSD,merupakan kontra indikasi untuk dilakukan pleurodesis karena pada saat itu paru tidak mengembang sempurna.Juga pada keadaan atlektasis atau obstruksi bronkhial dimana paru-paru tidak mengembang sempurna maka tindakan pleurodesis pada kasus-kasus ini kurang berhasil.8
2.      Drainage cairan pleura melaui chest tube.
Tidak adekuatnya pengeluaran cairan melalui chest tube kemungkinan disebabkan oleh karena posisi pemasangan chest tube yang kurang baik,misalnya kepanjangan, adanya obstruksi pada tube oleh fibrin-fibrin dan adanya lokulasi.8,18

3.      Distribusi yang merata dari agen sklerosing
Tindakan rotasi pada penderita yang diberikan agen sklerosing menurut beberapa peneliti masih merupakan kontroversi.Tindakan rotasi tidak terlalu penting bila ruangan pleura normal atau paru-paru mengembang baik,namun bila ada lokulasi atau trapped lung,barulah bermanfaat.17

4.      Dosis
Dosis biasanya berhubungan efektivitas dan toksisitas.Pada beberapa penelitian pemberian tetrasiklin 7 mg / kg BB tidak menghasilkan perlengketan dari rongga pleura sedangkan dengan dosis 20 mg/ kgBB hasilnya baik.Pemberian talkum dengan dosis 10 g pada beberapa peneliti dapat menyebabkan gagal nafas, sehingga dosis talkum yang direkomendasikan adalah 2-5 gram.8



5.      Tehnik pemberian
Dengan tehnik pemberian agen sklerosing yang baik,dapat membantu menghasilkan angka kesuksesan yang tinggi.9

6.      Efetivitas agen sklerosing
      Kondisi pH cairan pleura bersifat asam yang dihasilkan pada saat pemberian agen sklerosing, menurut beberapa peneliti hal ini mempengaruhi keberhasilan pleurodesis, dimana pada pH asam memberikan kesuksesan pleurodesis yang tinggi sedangkan pada pH yang alkali angka kesuksesan pleurodesis rendah.Pemberian tetrasiklin intrapleura dapat menghasilkan pH yang asam yaitu 2,0 dengan angka kesuksesan cukup tinggi antara 83-100%, akan tetapi dari suatu penelitian di Chile didapatkan angka kesuksesan 93% dengan menggunakan agen sodium hidroklorid dimana pH yang dihasilkan 13.Pemberian 5 FU juga menghasilkan pH yang alkali dengan angka kesuksesan rata-rata 58%.Dosis tampaknya berpengaruh terhadap nilai pH.Pemberian dosis tetrasiklin yang semakin tinggi menyebabkan terbentuknya pH yang semakin asam sehingga efek pleurodesis semakin baik.19
                  Dari pemeriksaan analisa cairan pleura terhadap kadar glukosa dan pH,dapat diramalkan keberhasilan pleurodesis,dimana bila terdapat kadar glukosa yang rendah yaitu < 60 mg/dl dan pH < 7,3, angka keberhasilan pleurodesis menurun.Kegagalan ini oleh karena berhubungan dengan metastase tumor yang semakin luas dimana pemakaian glukosa oleh sel-sel tumor semakin banyak dan pembentukan hasil metabolisme akhir glukosa yaitu berupa asam laktat semakin banyak dan menumpuk didalam rongga pleura akibat transportasi yang kurang baik karena pleura sudah mengalami metastase,sehingga pada keadaan ini mempunyai prognosis buruk.20,21


KOMPLIKASI PLEURODESIS
      Beberapa agen sklerosing dapat menimbulkan rasa nyeri setelah diberikan intrapleura.Rasa nyeri dapat ringan sampai berat.Tetrasiklin dan talkum merupakan agen yang paling sering menimbulkan rasa nyeri.Diketahui bahwa 1/3 penderita yang diberikan tetrasiklin mengalami rasa nyeri sedang sampai berat, 1/3 lagi nyeri ringan dan 1/3 sisanya tidak ada keluhan.2 Untuk mengatasi rasa nyeri tersebut Frederick H.Husherr menganjurkan pemberian analgetik sistemik dan anestesi lokal intra pleura.Analgetik sistemik yang diberikan berupa morfin 10 mg atau meferidin 75-100 mg subkutan atau intramuskular,yang diberikan 15 menit sebelum pemberian agen sklerosing sedangkan untuk anestesi lokal dapat diberikan lidokain 2% sebanyak 15-20 cc ( 200-250 mg ) 5 menit sebelum pemberian agen sklerosing.2,8 Beberapa peneliti memberikan lidokain intrapleura dengan dosis 50-150 mg,namun biasanya tidak melebihi 3 mg / kgBB  karena bila berlebihan beresiko untuk terjadi toksik.22
      Dosis lidokain intrapleura yang diberikan tidak mempengaruhi pH cairan pleura.7,23 Demam merupakan keluhan kedua terbanyak setelah nyeri.Komplikasi yang lain berupa empiema dan yang paling fatal adalah gagal nafas.Bila tehnik pemasangan chest tube dan pemberian agen yang kurang baik dapat menimbulkan emfisema subkutis,pneumotorak dan infeksi.2,8 Keluhan-keluhan lain berupa mual,rash dan juga dapat terjadi syok septik terutama pemberian bleomisin.11

PENGUKURAN KEBERHASILAN PLEURODESIS
         Definisi kriteria keberhasilan pleurodesis bervariasi.24 Beberapa peneliti menggunakan istilah respons sempurna (sukses) yang dinilai dari tidak adanya cairan terakumulasi dalam rongga pleura yang dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan atau dengan pemeriksaan foto torak ( Chest Radiographs Ratio = CRT ).11,24 Penilaian foto torak tergantung dari peneliti,ada yang menggunakan skor 0-5 : 24
-          skor 0, bila tidak ada efusi pleura
-          skor 1, pengembangan paru tidak sempurna (partially trapped lung)
-          skor 2, bila cairan tampak diatas kubah diafragma
-          skor 3, bila cairan pleura pada hilus
-          skor 4, bila cairan pleura diatas hilus
-          skor 5, bila cairan pleura memenuhi seluruh hemitorak

            Penelitan lain menggunakan score of 1 or 2 untuk menilai foto torak paska pleurodesis,yaitu : 24
-          skor 1, tidak ada efusi
-          skor 2, efusi minimal (< 10 % dibandingkan sebelum intervensi)
-          skor 3, efusi sedang ( 10-49 % dibandingkan sebelum intervensi)
-          skor 4, efusi besar ( 50-90 % dibandigkan sebelum intervensi)

Tindakan pleurodesis dapat diulangi lagi sampai 2 kali apabila pada tindakan yang pertama belum berhasil.Pleurodesis dikatakan gagal atau tidak berhasil bila tindakan pleurodesis telah dilakukan 2 kali dimana cairan yang keluar dari rongga pleura > 100 ml/ 24 jam dan pada foto torak menunjukkan skor > 1.8,24 Beberapa peneliti lain mengukur keberhasilan pleurodesis dari berapa lama terjadinya reakumulasi cairan pleura paska pleurodesis, dimana dianggap berhasil bila dalam waktu 30 hari paska pleurodesis tidak terjadi reakumulasi cairan pleura.8


PENATALAKSANAAN
Penderita yang datang berobat dengan keluhan sesak nafas dan kadang-kadang disetai nyeri dada dilakukan : 25
  1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik → bila dicurigai ada cairan pada pleura
  2. Foto torak dan kalau ternyata ada efusi pleura
  3. Pungsi percobaan : lakukan tindakan → bila didapatkan cairan berwarna serosanguinis atau merah darah
  4. Pungsi aspirasi → kemudian diikuti dengan pemasangan WSD (water seal drainage) dengan menggunakan NGT no 16.
  5. Cairan pleura dikirim ke Patologi Anatomi untuk pemeriksaan sitologi,dan juga dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan analisa cairan.
  6. Cairan yang keluar dari pleura dicatat dan dijumlahkan sebelum dilakukan tindakan pleurodesis
  7. Setelah cairan dari pleura < 100 cc/ 24 jam → kemudian dilakukan pemeriksaan fisik kembali,apakah tanda-tanda cairan dalam rongga pleura tidak ada lagi.
  8. Foto torak ulang untuk mengkonfirmasi apakah masih ada cairan dan untuk melihat pengembangan paru.
  9. Bila paru sudah mengembang (dengan menggunakan skor CTR = 0 ) → dapat dilakukan pleurodesis.
  10.  Pada pemberian tetrasiklin, 15 menit sebelum dilakukan pleurodesis diberikan petidin 50 mg IM dan kemudian 5 menit sebelum dimasukkan tetrasiklin ke dalam rongga pleura,diberikan lidokain intrapleura 200 mg
  11. Tetrasiklin bubuk steril 1500 mg diencerkan dengan 50 ml cairan normal saline, dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui chest tube,kemudian chest tube-nya diklem dan dimonitor apakah ada terjadi reaksi alergi.
  12. Kemudian penderita diminta untuk melakukan beberapa gerakan perpindahan posisi yaitu terlentang, duduk, telungkup, miring ke kanan, miring ke kiri, masing-masing 15 menit.Semua gerakan ini memakan waktu 2 jam
  13. Setelah 24 jam post pleurodesis → dilakukan pemeriksaan fisik : apakah masih terdapat tanda-tanda cairan,bila tidak ada lagi tanda-tanda cairan lalu dilakukan foto torak ulang untuk menilai pengembangan paru.
  14. Bila cairan tidak ada lagi ( <  100 ml/24jam) dn dari gambaran foto torak cairan tidak ada lagi (skor CTR = 0) → WSD dapat dicabut.
  15. Bila setelah pleurodesis yang pertama jumlah cairan WSD masih > 100 ml / 24 jam dan dari gambaran foto torak masih tampak cairan (skor CTR ≥ 1) maka pleurodesis diulang kembali dengan prosedur yang sama.
  16. Maksimal pleurodesis dilakukan 2 kali.






Gambar 1:  Ilustrasi safe triangle
 
 















Gambar 1. Peralatan yang digunakan untuk pleurodesis



Gambar 2. Lokasi insersi yang aman ( safe triangle)
 










KEPUSTAKAAN
  1. Pleurodesis.Available at http://en.wikipedia.org/wiki /Pleurodesis. Wikimedia Foundation,Inc. 2006
  2. Bitran J,Brown CM,Feus LG,et al. Malignant Pleural Effusions. In : Recent Advances in Diagnosis and Management, 1992 : P 6 – 83
  3. Asalgaff H, Mukty HA. Dasar-dasar Ilmu Paru.Surabaya Airlangga University Press, 1995 : 143-154.
  4. Ruckdesl JC. Malignant effusion in the chest. In : Current Cancer Therapeutics. Second Edition,1996 : 304-308.
  5. Colt HG, Dumon JF. Development of Disposable Spray Canister for Talc Pleurodesis. Chest 1994 ; 106 : 1776-1780.
  6. Dincer EH, Lipchik RJ. The intricacies of pneumothorax. Management depends on accurate classification. Post Graduate Medicine.December 2005.
  7. Landvater L, Hix WR, Mills M, et al. Malignant Pleural Effusion Treated by Tetracycline Sclerotherapy (A Comparison of Single vs Repeated Installation).Chest 1988 ; 93 : 1196-1198.
  8. Tate CA. Talc-Rationale and Use in Malignant Pleural Effusions. Cancer Control 1997 ; 4 : 172-178.
  9. G. Antunes, Neville E, Duffy J, Ali N. BTS Guidelines for the management of malignant pleural effusions. Thorax 2003; 58 : Suppl II ii 29 – ii38.
  10. Gannis FW, Wagman LD, Curcio LD, et al. Fluid Complications. In : Cancer Management : A Multi Disciplinary Approach.4ed th. 2000 : 1-5.
  11. Renard PBW, Vaughan LM, Sahn SA. Chemical Pleurodesis for Malignant Pleural Effusions. Ann Intern Med 1994 ; 120 : 56-64.
  12. Surland LG, Wiesberger AS, Cleveland. Intracavity 5- Fluorouracil in Malignant Effusions. Arch Intern Med.1965 ; 116 : 431 – 433.
  13. Antony VB, Rothfuss KJ,Godbey SW,et al. Mechanism of Tetracycline Hydochloride Induced Pleurodesis.AM Rev Respir Dis 1992 ; 146 : 1009-1013.
  14. Tabbarah JH,Casciato DA.Malignant Effusions. In : Haskell MC ed. Cancer Treatment,2nd ed, Philadelphia.1998 : 911-916.
  15. Antony VB.Pleurodesis – Testing the Waters. Am Rev Respir Dis. 1987 ; 135 : 775-776.
  16. Agrenius V, Chemielewska J, Widstrom O, et al. Pleural Fibrinolytic Activity is Decreased in Inflammation as Demonstrated in Quinacrine Pleurodesis Treatment of Malignant Pleural Effusion. Am Rev Respir Dis .1989 ; 140 : 1381-1385.
  17. Good JT, Taryle DA, Hyer TM. Clotting and Fibrinolytic Activity of Pleural Fluid in a Model of Pleural Adhesions. Am Rev Respir Dis. 1978 ; 118 : 903-908.
  18. Davies CWH, Traill ZC, Gleeson FV,et al. Intrapleural Streptokinase in the Management of Malignant Multiloculated Pleural Effusions. Chest 1999 ; 115 : 729-733.
  19. Sahn SA, Good JT, Pott DE. The pH of Sclerosing Agents a Determinant of Pleural Symphysis. Chest 1979 ; 76 : 98-200.
  20. Sahn SA, Good JT. Pleural Fluid pH in Malignant Effusions Diagnostic, Prognostic and Therapeutic Implications. Ann Intern Med 1988 ; 108 : 345 – 349.
  21. Panadero FR, Mejias JL. Low Glucose an pH Level in Malignant Pleural Effusions Diagnostic Significance and Prognostic Value in Respect to Pleurodesis. Am Rev Respir Dis 1989 ; 139 : 663-667.
  22. Wooten SA, Barbarash RA, Strange C. Systemic Absorption of Tetracycline and Lidocaine Following Intrapleural Instalation. Chest 1998 ; 94 : 960-963.
  23. Wijaya A,Alsagaff H.Tetracycline Pleurodesis in the Cyto-Histological Proved Malignant Pleural Effusion. Majalah Ilmu Penyakit Dalam. 1991 ; 17 : 31-35.
  24. Kennedy L,Rusch VW,Strange C.Systemic Absorption of Tetracycline and Lidocaine Following Intrapleural Instilation. Chest 1988 ; 94 : 960-963.
  25. Rowland B. Pleurodesis Healthcare Article. In Gale Encyclopedia of Cancer.Detroit.2002


























                                       
                                          
                                     

                       Gambaran  radiologis efusi pleura












                     Gambaran radiologis pneumotorak












               Gambaran USG dan CT scan pneumotorak

















             Gambaran USG dan CT scan efusi pleura










Tidak ada komentar:

Posting Komentar