Dr. Ahmad Rasyid, SpPD-KP, Dr. Zen
A,SpPD-KP
Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSMH/FK UNSRI Palembang
Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat,
tipis dan transparan. Membran ini menutupi jaringan paru dan terdiri dari 2
lapis:
- Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, langsung menutupi permukaan paru.
- Pleura parietalis: terletak disebelah luar, berhubungan dengan dinding dada.
Pleura
parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel (yang memproduksi cairan), membran basalis,
jaringan elastik dan kolagen, pembuluh darah dan limfe.
Membran pleura
bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus menerus merembes keluar dari
pembuluh darah yang melalui pleura parietal. Cairan ini diserap oleh pembuluh
darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali kedarah. Efusi
terjadi jika pemnbentukan cairan oleh pleura parietalis melampau batas
pengambilan yang dilakukan pleura viseralis.
Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran tebal 10-20 mm,
berisi sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung protein <
1,5 gr/dl dan ±
1.500 sel/ml.
Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit, makrofag
dan sel mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam jumlah
yang sangat kecil didalam cairan pleura.
Keluar dan masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang
agar nilai normal cairan pleura dapat dipertahankan
Gambar 1: Rongga pleura
Gambar
2: Mekanisme terjadinya efusi pleura
Cairan pleura sebenarnya adalah cairan interseluler pleura parietal. Oleh
karena pleura parietal disuplai oleh sirkulasi sistemik sedangkan tekanan
didalam rongga pleura lebih rendah dibanding atmospir, gradien tekanan bergerak
dari interselular pleura ke arah rongga pleura.
Ada 6
mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya penumpukan cairan dalam rongga
pleura, yaitu:
- Peningkatan tekanan hidrostatik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini dijumpai pada gagal jantung kongestif.
- Turunnya tekanan onkotik sirkulasi mikrovaskular. Keadaan ini terjadi akibat hipoalbuminemia seperti pada sindroma nefrotik.
- Turunnya tekanan intra pleura, yang dapat disebabkan oleh atelektasis atau reseksi paru.
- Meningkatnya permiabelitas kapiler pleura. Keadaan ini diakibatkan oleh peradangan pleura, misalnya pada efusi pleura akibat tuberculosis atau penyakit keganasan.
- Terhambatnya aliran getah bening akibat tumor atau fibrosis paru
- Masuknya cairan dari rongga peritoneum akibat asites.
Light
mengelompokkan efusi pleura dalam eksudat dan transudat, disebut eksudat bila
memenuhi satu dari 3 kriteria berikut:
- Kadar absolut LDH > 200 iu
- Rasio LDH pleura dan serum 0,6
- Rasio protein pleura dan serum 0,5
Gambar 3: Gambaran radiologis efusi
pleura
Gambar 4: Efusi pleura
Tabel 1 Analisis cairan pleura
Kriteria |
Eksudat |
Transudat |
Kadar protein
Rasio protein pleura/serum
|
> 30 g/l
> 0,5
|
< 30 g/l
< 0,5
|
Berat jenis
|
> 1,016
|
< 1,016
|
Kadar LDH
Rasio LDH pleura/serum
|
> 200 IU/l
> 0,6
|
< 200 IU/l
< 0,6
|
Kadar kolesterol
Rasio kolesterol pleura/serum
|
> 60 mg/dl
> 0,3
|
< 60 mg/dl
< 0,3
|
Derajat albumin serum/efusi
|
< 1,2 g/dl
|
> 1,2 g/dl
|
Rasio bilirubin pleura/serum
|
> 0,6
|
< 0,6
|
Kadar prostaglandin E
|
> 50 mg/ml
|
< 50 mg/ml
|
Kadar RBC
|
> 10/lpb
|
< 10/lpb
|
Tabel 2 Penyebab efusi pleura
Penyakit/Kondisi
|
Frekuensi
(%)
|
Penyebab
|
Gagal jantung kongestif
Sirosis hepatis
Sindroma nefrotik
Penyebab lain
Dialisis peritoneal berkelanjutan
Hipoalbuminemia
Urinothorax
Atelektasis
Perikarditis konstriktiva
Sindrom vena vava superior
Sarkoidosis
Emboli paru
|
80
8
4
8
|
Peningkatan tekanan hidrostatik
|
|
|||||
|
Gambar 5: Algoritma diagnosis
efusi pleura
Gambar 6 Tindakan
terhadap efusi pleura
EFUSI PLEURA DAN PNEUMOTORAK :
PENDEKATAN PRAKTIS DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN
Prof.Dr.Zulkarnain Dahlan,SpPD-KP
Divisi Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
R.S. Hasan
Sadikin/UNPAD Bandung
ABSTRAK
Efusi
pleura (EP) dan pneumotorak (PNK) merupakan 2 bentuk penyakit pleura yang
sering dijumpai. Kedua penyakit ini disebabkan oleh adanya pengisian rongga
torak oleh 2 substansi yang berbeda yaitu cairan (EP) atau udara (PNT). Penyakit ini bisa dijumpai secara sendiri
sendiri, namun bisa dijumpai secara bersamaan. Penyebab keluhan respiratorik
disebabkan oleh penyakit dasarnya disamping disebabkan oleh cairan atau udara
itu sendiri. Sebagian dari penyebab efusi pleura bisa diduga secara klinik,
tetapi umumnya diperlukan analisis cairan pleura untuk penegakan diagnosis.
Perlu dibedakan antara EF transudat, dengan
eksudat yang disebabkan oleh penyakit yang memerlukan tindakan lebih
lanjut. Perlu diketahui penyebab EF terutama EF eksudatif hingga dapat dimulai
pemberian terapi kausal. Pengosongan cairan dan pencegahan rekurensi dapat
dikerjakan dengan berbagai cara, namun tindakan yang akan dilakukan harus cepat
diputuskan agar tidak terlanjur terjadi proses penyakit yang akan mempersulit
tindakan intervensi yang perlu dilakukan.
PENDAHULUAN
EP
dan PNT merupakan 2 bentuk penyakit pleura yang sering dijumpai. Kedua penyakit
ini disebabkan oleh adanya pengisian rongga torak oleh 2 substansi yang berbeda
yaitu cairan (EP) atau udara (PNT) hingga dibicarakan secara sendiri sendiri,
namun bisa dijumpai secara bersamaan hingga kedua hal ini dibicarakan sebagai
suatu kesatuan klinik. EP merupakan istilah umum untuk dugaan adanya cairan di
ronga torak sebelum diketahui karakteristik cairan tersebut. Penyebabnya banyak
dan bervariasi hingga diperlukan suatu cara pendekatan yang tepat untuk penegakkan diagnosisnya.
Uraian penyakit ini bisa luas, namun
sebagai materi dari suatu pelatihan pada makalah ini uraian disampaikan sebagai
suatu pendekatan penyakit agar dapat menjadi menjadi suatu bahan acuan dalam upaya penatalaksanaannya. Penyampaian
materi akan difokuskan pada uraian
penyakit dalam kerangka tatalaksana sehari- hari.
Penatalaksanaan
EP dan PNT tergantung kepada penyebabnya. Sesak nafas yang dijumpai pada EP
tidak selalu langsung teratasi dengan aspirasi cairan karena hal ini mungkin
disebabkan oleh penyakit lain. Diketahui berbagai cara untuk mengeringkan efusi
dan mencegah rekuruensi, tapi putusan mengenai tindakan yang akan diambil perlu
segera diambil hingga proses penyakit tidak akan progresif kepada tingkat yang menyulitkan dalam melakukan intervensi
terhadap penyakit.
Secara klinis dipakai istilah efusi
pleura, pneumototrak dan hidropneumotorak.
Efusi Pleura dapat disebabkan
oleh variasi penyebab yang luas oleh penyebab lokal biasanya berupa eksudat
(cairan radang) dan sistemik berupa transudat (cairan fisiologik).
Pneumototrak. dapat disertai dengan
pengisian udara pada bagian- bagian lain dari rongga torak atau
jaringan sekitar (pneumo mediastinum, pneumointerstitialis, pneumo subkutan). Hidropneumotorak
terdapat cairan dan udara secara bersamaan dalam rongga torak.
EFUSI PLEURA
Pendekatan masalah dapat dilakukan secara
sistematik berupa(1,2)
I.
Pemikiran
adanya EP dan/ atau PNT
II.
Evaluasi
EP untuk tindakan torakosentesis
III. Tindakan torakosentesis
IV. Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada
cairan pleura
V.
Bagaimana
penegakkan diagnosis
VI. Kapankah tes khusus dan prosedur invasif
terindikasi untuk penegakkan diagnosis etiologi
VII. Tatalaksana efusi pleura
VIII. Pencegahan rekurensi
I . Pemikiran adanya EP dan/ atau PNT
Gambaran Klinik dapat berupa gangguan ringan tanpa
gejala sampai kepada keadaan yang mengancam jiwa.
1.1. Gejala respiratorik dapat berupa(1,2) :
a. Sesak
nafas, yang merupakan gejala tersering
pada EP yang dijumpai akibat kompresi cairan pada paru yang mengakibatkan shunt
regional dan pada area yang terkena terjadi penurunan rasio ventilasi/ perfusi.
Efusi dapat menyebabkan pendorongan mediastinum, dinding torak, dan diafragma.
Dapat
dijumpai hipoksia ringan yang mudah
dikoreksi dengan pemberian O2, namun sering sesak nafas tidak hilang sama
sekali. Hal ini terjadi akibat distorsi diafragma dan dinding dada saat
respirasi. Sesak nafas dapat hilang bila telah dilakukan torakosentesis., atau
hanya berkurang saja karena adanya
penyakit dasar seperti obstruksi endobronkhial oleh tumor atau benda asing,
penyakit paru kronik ataupun penyakit paru jantung kongestif. Foto torak pasca
torakosentesis dapat membantu mengungkap penyebabnya.
Aspirasi cairan akan mengurangi gejala
meskipun perubahan adalah minimal saja.
b. Batuk yang sering, dapat berkaitan dengan
infeksi saluran nafas bawah atau tumor endobronkhial.
c. Nyeri dada dapat disebabkan inflamasi pleura,
metastasis tumor pada dinding torak, atau emboli paru.
d. Bisa didapatkan fokal fremitus yang menurun, perkusi
torak pekak dan penurunan suara nafas
vesikuler.
1.2. Gejala non respiratorik
Pemeriksaan radiologi. Dapat membantu
diagnosis adanya EP dan penyebabnya. Pada foto torak PA dan lateral akan
terlihat sudut kostophrenik yang tumpul bila terdapat cairan > 150 ml. EP
subpulmonik akan dicurigai bila dijumpai pada foto tegak gambaran elevasi hemitorak, pergeseran
kubah diafragma ke lateral, dan peningkatan jarak antara hemidiafragma kiri dan
udara di lambung. Pada foto tegak efusi dalam jumlah sedang atau lebih banyak
mungkin tidak terdeteksi bila tidak dicermati adanya karakteristik radiografi
berupa peningkatan bayangan radioopak pada lapangan paru bawah. Pada jumlah
cairan yang sedikit dengan foto torak dekubitus lateral akan terlihat lapisan
cairan yang bebas bergerak pada bagian samping torak. Bila tebal cairan 1 cm
efusi akan dapat diambil dengan torakosentesis, dan tidak dijumpainya gambaran
tersebut kemungkinan menunjukkan adanya EP terlokalisir.
Menurut gambaran klinik, termasuk radiologi,
EKG dan laboratorium dasar didapatkan sebagian kecil EF ditimbulkan oleh
penyakit sistemik non respiratori yang tidak memerlukan tindakan (misalnya EP
bilateral akibat gagal jantung kongestif), sedangkan sebagian terbesar perlu
ditelusuri dengan analisis cairan dengan yang diambil dengan cara
torakosentesis dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
Ultrasonografi (USG), bermanfaat untyuk
membantu diagnosis dan torakosentesis. USG lebih baik daripada foto torak dalam
menentukan EP yang terlokalisir, dan kelainan subpulmonik atau subprenikus (2).
CT Scan, dapat membedakan adanya EP, EP
terlokalisir, masa pleura, empiema, abses paru.
II. Evaluasi EP untuk tindakan torakosentesis
Dalam beberapa hal gambaran
klinik telah menunjukkan etiologi yang jelas dari EP misalnya oleh penyakit
jantung kongestif. Namun seringkali penyebab dan gambaran klinik tidak jelas
hingga harus dilakukan torakosentesis dan pengambilan cairan bila efusi melebihi
>150 ml, sesuai kebutuhan untuk diagnostik
atau untuk meringankan rasa sesak bila cairan banyak.
III. Tindakan torakosentesis
Indikasi torakosentesis adalah
(2) :
- efusi parapneumonik yang mengalami komplikasi atau empiema
- mengurangi rasa sesak nafas
- evaluasi dasar penyakit paru kronik
Pada tindakan torakosentesis
perlu diperhatikan :
-
cara
aspirasi cairan dengan terarah jarum yang miring.
-
dikeluarkan
cairan EP sampai 1000- 1200 ml sekali ambil
-
lakukan
monitoring dengan oxymeter agar saturasi >90%. Pasca torakosenstesis dapat
hipoksemia terjadi akibat reaksi paradoksal pada perluasan area dengan rasio
V/Q yang rendah, dan edem paru unilateral akibat reekpansi paru.
-
dapat
dilakukan aspirasi ulangan bila ada indikasi, namun bila selalu terbentuk
cairan kembali perlu dipertimbangkan tindakan pleurodesis.
IV. Pemeriksaan apa yang harus dilakukan pada
cairan
pleura (1-6)
4.1 Secara
fisik cairan dapat berupa serous (jernih sampai gelap, transparan sampai
keruh), serosanguinous (kemerahan), hemorhagik (darah), purulen ( berbau busuk
pada infeksi anaerob), chylous (seperti susu), coklat (abses paru yang
mengalami perforasi), hitam (infeksi aspergillus) atau hijau kekuningan
(pleuritis reumatik atau efusi pankreatik).
Hasil limfositosis dari diferensiasi sel cairan menyokong kearah penyakit
kronik misalnya TB pleura.
4.2 Pemeriksaan kimiawi,
dengan memakai kriteria Light dkk
(1972)(2) untuk membedakan karakteristik cairan berdasarkan:
1. rasio protein cairan/ serum >0,5
2. rasio LDH cairan/ serum >0,6
3. LDH cairan >0,6 nilai serum normal
(biasanya dipakai nilai batas 200 IU/ ml)
Cairan adalah eksudat bila
salah satu nilai positif, dan transudat bila semuanya negatif. Kriteria Light
menunjukkan nilai sensitivitas 99% dan spesifisitas 98% untuk eksudat.
4.3 Penanda
kimia lain adalah kadar kholesterol, tetapi tidak
lebih baik daripada protein
dan LDH. Kadar glukosa yang rendah dapat dijumpai pada TB, empiema, tumor yang
mengenai pleura. Kadar amylase yang tinggi dapat dijumpai pada 10% daripada
efusi maligna. Hasil pengukuran pH 7,3 (normal : 7,64) menunjukkan proses
inflamasi atau infiltratif a.l. efusi pleuropneumonik, empiema, kanker,
penyakit jaringan ikat,TB dan ruptur esofagus.
4.4 Kadar
adenosine diamine cendrung lebih tinggi pada EP TB (>70 U/L) daripada
penyebab lainnya. Harga abnormal juga dijumpai pada pleuritis rematik dan
empiema (40 – 70 U/L).
4.5 Petanda
tumor, petanda tumor mempunyai kemanfaatan
terbatas, dengan petanda
kombinasi untuk 3 jenis petanda tumor yaitu CEA (carcinoembryonic antigen),
cytokeratin 19- fragment (Cypra 21-1), dan tissue polypeptide antigen (TPA-M)
memberikan nilai sensitivitas sebesar 85,7% dan spesifitas 59,1%. Pada
mesothelioma CEA pleura tidak dijumpai meninggi dengan nilai spesifitas 90%,
hingga hal ini dapat dipakai pada pada keadaan yang sulit sebagai suatu cara
ekslusifitas penyakit. (1,3)
4.6 Sitopatologi, dapat menunjukkan gambaran yang ‘spesifik’
untuk infeksi mikobakterium
dengan a.l. adanya sel datia langhans, atau sel kanker. Dengan pemeriksaan
imunohistokimia menggunakan poliklonal dan monoklonal anti- CEA terhadap sampel
pleura diagnosis pasti mesotelioma dapat ditegakkan. (3)
4.7 Analisa
molekuler DNA mikobakterium yang dikandung
dalam EP. Pemeriksaan dengan
metoda PCR terhadap gen 16S rDNA yang universal untuk mikobakterium, diikuti
sekuensing dan uji banding dengan sekuens
berbagai spesies mikobakterium yang mirip dengan arsip dari NCBI (National
Center for Biomolecular Information) di USA, dapat diungkapkan spesies mikobakterium yang
ada di efusi pasien tersangka TB pleura.
V. Bagaimana Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis berdasarkan data- data yang
telah ada dapat dilakukan secara umum
berdasarkan alur seperti terlihat pada Bagan/ Flow Chart 1. Banyak sekali
keadaan dapat menimbulkan EP.(4)
Yang paling sering dijumpai
adalah seperti TB, keganasan dan pneumonia seperti tercantum pada Tabel 1.(1,2)
Disamping itu dapat juga disebabkan oleh obat misalnya yang menimbulkan
sindroma lupus (procainamide, hydralazine, quinidine).
Gambar 1.Flow Chart – Diagnostic Approach
To Pleural effusions(4)
Tabel 1 – Penyebab Tersering
Dari Efusi Pleura (R1)
Penyebab dari Transudat
. Bendungan jantung
. Sindroma nefrotik
. Sirosis hepatis
. Hipoalbuminemia
. Atelektasis (dini)
. Dialisis peritoneal
Penyebab Tersering dari Eksudat
. Tuberkulosis
. Parapneumonia
. Keganasan
. Penyakit kolagen (arthritis rematik, lupus eritematosus)
. Khilotorak
. Hemotorak
. Pankreatitis
. Abses diafragmatika
. Emboli paru
. Perforasi esofagus
. Sindroma Meig
|
Dengan pemeriksaan kimiawi dapat diperoleh
gambaran umum mengenai penyebab eksudat dan transudat seperti terlihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 – Diferensiasi
antara eksudat dan transudat .(5)
Diferensiasi Antara Transudate dan
Eksudat
|
||
Parameter
|
Transudat
|
Eksudat
|
Protein total (TP)
Rasio TP pleura /TP serum
LDH
Rasio LDH pl/ LDH serum
Cholesterol
Serum bilirubin pleura : serum
|
<30gr/L
< 0,5
<200 U/L
< 0,6
<60 mg/dL
< 0,6
|
>30 gr/L
> 0,5
> 200 U/L
> 0,6
> 60 mg/dl
> 0,6
|
VI. Kapankah tes khusus
dan prosedur invasif terindikasi
untuk
penegakkan diagnosis etiologi
Pemeriksaan
khusus dianjurkan bila diduga adanya penyebab tertentu seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 – Tes Khusus Untuk
Penegakan Diagnosis Efusi Pleura (1)
No
|
Jenis Tes
|
Diagnosis
|
1
|
Carcinoembryonic
Ag (> 10 ng/ ml)
|
Keganasan
|
2
|
Adenosine
deaminase > 43 U/L
|
Pleuritis TB
|
3
|
Triglycerida
>110 mg/dl
|
Khilotorak
|
4
|
Amilasi >
200 U/ dl
|
Perforasi
esofagus, keganasan, penyakit pankreas, kehamilan ektopik yang pecah
|
|
Isoenzym :
ludah
|
Penyakit esofagus, keganasan
|
|
Isoenzym:
pankreatik
|
Pankreatitis,
pseudokista pankreas
|
5
|
Faktor rematik
³ 1: 320 dan ³ 1 titer serum
|
Efusi rematik
|
6
|
Antibodi antinuklir (ANA)
³ 1: 160 dan ³ titer serum
|
Pleuriitis
lupus
|
Pada 15-25 % kasus EP eksudatif etiologi
tetap belum diketahui meskipun telah dilakukan serial torakosentesis, sitologi
dan biopsi pleura. Pada
pasien ini perlu dilakukan scan ventilasi- perfusi untuk melihat kemungkinan
adanya emboli paru.
6.1 Biopsi pleura (BP). Lebih jarang dikerjakan
setelah dapat dilakukan pemeriksaan petanda serum dan torakoskopi. BP dilakukan
terutama bila petanda yang lain misalnya petanda ADA atau petanda tumor
negatif.
6.2 Torakoskopi. Cara ini memberikan keuntungan
evaluasi visual dari pleura, pengambilan sampel jaringan secara lansung, dan
intervensi terapeutik (diseksi lokuler, dan pleurodesis). Medical
thoracoscopy (dalam sedasi sadar), video-assisted thoracoscopic surgery (VATS)
diindikasikan untuk diagnosis EP yang tetap belum terdiagnosis dengan metoda
yang kurang invasif (torakosentesis).(2)
VII. Tatalaksana efusi pleura
Tergantung
etiologi EP, berat ringannya proses, keadaan pasien, dan fasilitas yang
tersedia. Hal yang menjadi
tujuan terapi adalah :
1. Terapi paliatif terhadap gejala (nyeri ,
sesak nafas)
2. Terapi terhadap penyakit dasar
3. pencegahan fibrosis pleura dengan
penurunan fungsi paru
4. pencegahan kekambuhan
7.1 Terapi paliatif terhadap gejala (nyeri , sesak
nafas)
Torakosentesis untuk
pengeluaran cairan EP biasanya mencukupi untuk mengurangi keluhan. Pada
tindakan ini harus dihindari komplikasi berupa pneumotorak, hemotorak, dan
emfisema subkutan.
7.2 Terapi terhadap penyakit dasar
Efusi parapneumonik. Dijumpai
pada 52% pneumonia. EP eksudatif merupakan indikasi EP yang harus cepat
didiagnosis. Urgensi pengosongan segera
rongga torak terlihat dari adanya cairan yang purulen, pH cairan < 7,2,
sediaan Gram yang positif dan adanya efusi yang terlokalisir.(1) Hal
tersebut memberikan prognosis yang buruk. Antibiotik secara empirik harus
segera diberikan dan segera dipasang WSD karena fibrosis atau efusi multilokal
akan cepat terjadi.
Tabel 4. Risiko Prediktor
Pada Efusi Parapneumonik
Dengan Indikasi
Pemasangan WSD Atau Prosedur Invasif Lainnya .(3,4)
. Efusi pleura yang banyak (1/2 hemitorak)
. Efusi terlokalisir
. Pewarnaan Gram positif dari cairan pleura
. Kultur kuman dari cairan positif
. Cairan keruh atau pus
. ph cairan < 7,2
|
Dapat diberikan fibrinolitik intrapleural
seperti streptokinase dan urokinase melalui
WSD untuk melancarkan pengosongan cairan efusi. Tindakan bedah dengan VATS diperlukan bila
tindakan medik tidak berhasil. Torakotomi diperlukan untuk melakukan
dekortikasi pada efusi parapneumonik dengan perlengketan. Bila perlu dilakukan
pleurodesis.
Tabel 5 - Metoda Terapi Efusi Parapneumonik dan
Empiema (3)
Medik
. antibiotik
. torakosentesis tiap hari
. slang torakostomi (WSD)
. pemberian fibrinolitik intrapleural
. pengisapan cairan
. torakoskopi medik
Bedah
. video- assisted thoracoscopic surgery
. torakotomi standart
. pengosongan (drainasi) terbuka
|
VIII. Pencegahan rekurensi (7)
Strategi pencegahan rekurensi yang tepat
tergantung kepada tipe EP. Pada efusi
maligna rekurensi terutama terjadi pada kanker paru dan kanker metastatik Ca
mammae. PH <7,3 dapat meramalkan masa hidup sekitar 2 bulan. Pada pasien ini
dapat dilakukan pleurodesis untuk mencegah rekurensi, dengan menggunakan talc,
bleomycin sulfat, tetrasiklin atau doxycycline yang menyebabkan sklerosis
rongga pleura.
Pada efusi non maligna terkadang rekurensi terjadi
pada asites yang banyak yang disertai EP sekunder. Tekanan tinggi pada rongga
perut yang terkait dengan distensi asites dan tekanan negatif torak saat
inspirasi, akan mnyebabkan mengalirnya asites melalui cacat diafragma ke rongga pleura. Bila terapi
pengontrolan asites tidak berhasil dapat dilakukan sklerosis pleural atau
terapi pembedahan. Pada khilotorak terjadi akumulasi limfe di rongga torak
karena pecahnya d toraksikus.
PNEUMOTORAK
1. Pneumotorak
Hal-hal yang menimbulkan kebocoran dari pleura
Tabel 6 – Klasifikas
Pneumotorak (3)
Traumatik/ Iatrogenic
-
torakosentesis
-
ventilasi
mekanik
Spontan :
|
-
primer
(tidak disertai penyakit dasar paru)
-
sekunder
(disertai penyakit dasar paru) :
|
. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
. infeksi
.
keganasan
|
Insidensi PNT spontan primer lebih sering
pada usia <40 tahun dan risiko relatif meningkat pada perokok berat.
Insidensi PNT spontan sekunder mempunyai prognosa yang tidak baik karena
disertai oleh paru dalam berada dalam kondisi yang sudak terganggu, terutama
oleh PPOK dan infeksi. PNT yang terkait dengan trauma dapat disebabkan oleh PNT
terbuka, atau PNT tertutup (PNT ventil ) yang disertai dengan tekanan
intrapleura yang lebih tinggi dari tekanan atmosfir. Pada keadaan ini perlu
dipasang WSD hingga kebocoran pleura teratasi. Pada Tabel 7 dapat dilihat
pedoman terapi PNT yang diajukan oleh ACCP.(3)
Pedoman ACCP ini juga merekomendasikan intervensi bedah (berupa
torakoskopi dengan bulektomi) untuk mencegah rekurensi PNT sekunder.
Table 7. Management of Spontaneous Pneumothorax – ACCP(3)
Primary Spontaneous
Pneumothorax
|
Secondary Spontaneous Pneumothorax
|
·
Stable
patients with small pneumothoraces
o Observation in the emergency department for 3 to 6
Hours
o Discharge home if a repeat chest radiograph excludes
progression
o Follow-up within 12-48 hours with repeat chest
radiograph to document resolution
·
Stable
patients with large pneumothoraces
o Hospitalization
o Re-expansion of lung using a small-bore catheter or
placing a 16F to 22F chest tube
o Suction if lung fails to re-expand
·
Unstable
patients with large pneumothoraces
o Hospitalization
o Chest tube placement with 16F to 22F standard chest
tube
o Use 24F to 28F chest tube if patient has a large air
leak or requires positive-pressure ventilation
|
o
All patients
should be hospitalized
o
Observation or
treatment with a chest tube, depending on the extent of the symptoms and the
course of the pneumothorax
|
KEPUSTAKAAN
1. Rubins
JB, Colice GL. Evaluating pleural
effusion. Postgraduate Med 1999 ;105(5) : 1-11. http://www.postgraduatemed.com/issues/1999/05_01_99/rubins.htm
2.
Cleveland
Clinic. Pleural Disease. 2006.
3.
Pleural Diseases. Loddenkemper R, Antony VB. Eur Resp Monograph 2002; 7(22):
110-6, 204- 218.
4.
Light RW. Disorders of the pleura, mediastinum,
diaphragma an chest wall. In Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Ed. McGraw- Hill,New
York. 2005 ; Vol. II: 1565 – 9.
5.
Albert RK, Spiro SG, Jett JR. Comprehensive respiratory
medicine. Mosby London, 1999; Ch. 65;65.1- 4; 66: 66.1- 66.10.
6. Practical
management of pleural effusion. Postgraduate
Med 1999 ;105(7) : 1-10. http://www.postgraduatemed.com/issues/1999/05_01_99/colice.htm
PERANAN
TORAKOSKOPI DALAM MANAJEMEN PENYAKIT
PLEURA
Dr.Sumardi,SpPD-KP
Sub Bagian Pulmonologi,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
UGM/SMF Paru RS Dr. Sardjito
Yogyakarta
Menentukan diagnosis
banding pada penyakit pleura merupakan proses yang panjang dan kadang dapat meragukan.
Keganasan pada pleura hanya didapatkan 50% bila menggunakan sitologi cairan
pleura. Biopsi pleura hanya mendapatkan hasil diagnostik antara 50 sampai
dengan 60% (Prakash
dan Reinmann 1985; Kennedy dan Sahn 1995). Boutin et al. (1981) melaporkan, bahwa dari 1000
pasien dengan efusi pleura, pada 215 pasien dilakukan torakoskopi, diagnosis
dapat ditegakkan pada 97% pasien. Hasil diagnostik dengan torakoskopi medik
menunjukkan ketepatan yang tinggi, terutama pada efusi pleura yang malignan.
Hasil tersebut sesuai juga dengan hasil penelitian dari Loddenkemper dan Boutin
(1993)dimana 95% dapat ditegakkan diagnosisnya, demikian juga dari penelitian
Blanc et al. (2002) didapat ketepatan diagnosis antara 93.3% dan penelitian
Colt (1999) didapat ketepatan diagnosis 90–100%. Pada banyak kasus,
sensitifitas torakoskopi untuk mendeteksi keganasan pleura lebih tinggi
dibanding dengan menggunakan biopsi pleura perkutan, atau dengan menggunakan
cara sitologi cairan pleura. Untuk menentukan stadium dari karsinoma bronkhial
dan mesotelioma difus dapat digunakan torakoskopi (Loddenkemper dan Boutin,
1993; Haris, et al., 1995)
Secara endoskopik dengan
menggunakan torakoskopi medik, lesi pada pleura yang dicurigai sebagai
keganasan mencapai 86% dari kasus. Gambaran endoskopik berupa nodul, polipoid, massa, penebalan pleura
dan bentuk seperti tetesan lilin (candle wax drops)(Boutin et al., 1983).
INDIKASI DILAKUKAN TORAKOSKOPI MEDIK
Torakoskopi biasa dilakukan setelah dua sampai 3
kali dilakukan torokosentesis. Torakoskopi medik dapat dilakukan dengan
menggunakan anestesi lokal atau regional, bila keadaan penderita memungkinkan,
dapat dilakukan dibawah anestesi umum (Mathur et al., 1995).
Indikasi utama torakoskopi medik adalah untuk
menentukan diagnosis pasti pada penyakit pleura, apabila dengan sitologi cairan
pleura dan biopsi pleura hasilnya masih meragukan. Indikasi lainnya adalah
terapi alternatif bila terapi medikamentosa tidak mendapatkan hasil yang
memuaskan, misalnya pada efusi parapneumonia kategori 3 dan 4, pleurodesis
dengan tepung bedak (Haris et al., 1995; Light, 2005).
PERSIAPAN PASIEN SEBELUM DILAKUKAN
TORAKOSKOPI MEDIK (APSR 2005)
1.
Foto
rontgen dada posteroanterior dan lateral, bila diperlukan dilakukan USG paru
untuk menentukan area torakoskopi.
2.
Spirometer,
obstruksi ringan dan atau konstriksi ringan
3.
Saturasi oksigen lebih dari 92%
4.
Analisis gas darah, tekanan Oksigen arterial lebih dari
60 torr.
5.
Waktu perdarahan dan penjendalan darah dalam batas
normal.
6.
Hemoglobin lebih dari 10 gr%
7.
Albumin plasma lebih dari 2,5 gr%
8.
Kesadaran kompos mentis
9.
Indeks Risiko Kardial klas 2 atau 1
10.
Persiapkan
Continuous WSD
11. Tidak ada kelainan hati dan ginjal yang berat
12.
Inform consent
PROSEDUR
TORAKOSKOPI MEDIK (Mathur et al., 1995;APSR 2005)
1.
Dilakukan
diruang tindakan bedah minor atau ruangan endoskopik di gedung bedah sentral
2.
Desinfeksi
area torakoskopi pada SIC 5 linea thoracalis media atau sesuai hasil USG torak.
3.
Area
torakoskopi dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 2% 4 sampai 5 ampul.
4.
Area ditutup dengan kain steril (doek) berlubang
5.
Insisi dilakukan pada kulit sepanjang 2-3 cm, jaringan
subkutan dilebarkan secara tumpul.
6.
Trokart torakoskopi dimasukkan melalui sayatan kulit
sampai menembus pleura, sentral trokart (mandrein) dilepas diganti torakoskop,
kabel lampu dipasang ke torakoskop
7.
Operator melihat melalui torakoskop, setelah jelas
melihat kedalam rongga pleura, kabel konektor ke monitor dipasang ke torakoskop
8.
Operator
mengamati kondisi pleura melalui monitor
9.
Bila
didapatkan kelainan yang mencurigakan, melalui lubang torakoskop dimasukkan
alat biopsi
10.
Biopsi dipantau melalui monitor
11.
Setelah biopsi, alat dilepas, selanjutnya torakoskop
dilepas, trokart dilepas diganti drain torak dan fiksasi pada kulit dada dengan
2 jahitan.
12.
Drain torak dihubungkan ke Continuous WSD.
13. Tanda vital dipantau tiap jam selama
6jam pertama, selanjutnya tiap 6 jam.
Pada
efusi parapneumonia, sering ditemukan fibrin dan bridging. Dapat dilakukan koterisasi pada bridging
secara hati-hati, karena kadang terjadi perdarahan. Pada bridging yang tebal, bahaya
dilakukan koterisasi karena vaskularisasi sudah banyak, perdarahan sukar
diatasi, sehingga perlu konsultasi atau pendampingan bedah torak.
KEPUSTAKAAN
1. APSR 2005 Guangzhou Workshop on
Pleural Disease
Blanc et al.
2002 Diagnostic Value of Medical
Thoracoscopy
in
Pleural Disease : A 6-Year Retrospective Study Chest
121;1677-1683
2. Boutin et al.
1983 Prospective evaluation of biopsy methods
in the diagnosis of malignant pleural effusions: intrapatient
comparison
between pleural fluid cytology, blind needle
biopsy, and
thoracoscopy. Am Rev Respir Dis 1983;
127(suppl
4):114
3. Colt 1999
Thoracoscopy: window to the pleural space. Chest
1999;116:
1409–1415.
4. Haris, et al.,
1995 The impact of thoracoscopy on the
management of
pleural disease. Chest 107:845–852
5. Kennedy dan Sahn
1995. Noninvasive
evaluation of the
patient with a
pleural effusion. Chest Surg Clin N Am
4:451–465
6. Light, 2005
Inflamation Pleural Effusion: Guideline and
perspective.Workshop on Pleural Diseases. 10th
Congress of
APSR and ACCP Guangzhou 2005
7. Loddenkemper dan
Boutin 1993 Thoracoscopy: present
diagnostic and
therapeutic indications. Eur Respir J 1993; 6:
1544–1555.
8. Mathur et al.,
1995 Medical thoracoscopy: technical details.
Clin Chest Med
16:479–486
9. Prakash and
Reinmann 1985 Comparison of needle biopsy
with cytologic
analysis for the evaluation of pleural
effusions:
analysis of 414 cases. Mayo Clin Proc 60:158–164
WATER SEALED DRAINAGE
ASPIRASI DAN PROSEDUR
Dr Zen Ahmad SpPD-KP, Dr. Joni Anwar,SpP
Divisi Pulmonologi
Bagian Penyakit Dalam RSMH
Palembang
Definisi
Pengaliran udara
atau cairan dari rongga pleura dengan pemakaian selang yang ditusuk-kan pada
sela iga.
Indikasi :
-
Pneumotoraks
-
Empiema
- Efusi pleura (hematotoraks,
parapneumonia atau efusi ganas)
-
Paska torakotomi
-
Pleurodesis
Gambar 1: Rongga pleura normal (A) dan adanya efusi
pleura (B), yang indikasi
pemasangan
WSD
Gambar 2: Gambaran radiologis efusi pleura
Gambar 3: Gambaran radiologis
pneumotorak
Kontra Indikasi
a. Absolut: tidak ada
b. Relatif
o
Koagulopati
o
Infeksi kulit
o
Kondisi yang jelek (Unstable), misalnya
pada pemakaian
ventilator.
o
Persiapan:
a. alat
-
Betadin dan alkohol 70%
-
Kasa steril
-
Sarung tangan steril
-
Spuit 5cc
-
Lidokain 2 ampul
-
Alat bedah minor (mess scalpel, gunting, needle
hecting) dan benang zyde
- Trokard
beserta main drain
-
NGT nomor 16
-
Transfusi set
-
Botol WSD berisi desinfektan
-
Plester
Gambar 4: Alat-alat yang digunakan
untuk pemasangan Water Sealed Drainage
|
premedikasi
Premedikasi tidak rutin dilakukan pada pemasangan WSD.
Pada pasien yang sangat ce-mas dapat diberikan Sulfas atropin 0,5mg
tiga puluh menit
sebelum tindakan dilakukan.
Cara Kerja :
1. Posisi pasien duduk, dengan sisi yang sakit
menghadap
kearah operator. Tangan sisi paru yang sakit
diangkat keatas
kepala (gambar 6)
2.
Lihat foto torak secara cermat dan lakukan pemeriksaan
fisik untuk menentukan batas cairan/udara. Biasanya pada sela iga 7 atau 8
bagian belakang untuk cairan, atau sela iga 2 bagian depan untuk udara (gambar
6).
3.
Lakukan tindakan antiseptik pada tempat yang akan
dipasang WSD dengan meng-gunakan betadine dan alkohol 70%.
4.
Lakukan anestesi lokal pada tempat yang akan dipasang
WSD dengan lidokain. Anestesi dilakukan lapis demi lapis, mulai dari kulit
sampai pleura parietalis sambil dilakukan aspirasi.. Kedalaman jarum suntik
sampai tembus ke rongga pleura dipakai untuk patokan pemasangan trokard (gambar
7).
5.
Lakukan sayatan kulit memanjang sejajar tulang iga,
pada tempat yang sudah dianestesi (± 1 sampai 1,5 cm atau selebar diameter trokard).
6.
Masukkan trokard bersama selongsongnya secara tegak
lurus sampai menembus rongga pleura.
7.
Cabut trokard dan masukkan selang NGT melalui
selongsong trokard.
8.
Hubungkan NGT dengan selang transfusi set. Ujung selang
transfusi set harus terendam dalam larutan betadin yang ada dibotol WSD (± 2cm
dari permukaan air) (gambar 8).
9.
Lakukan fiksasi kateter dengan jahitan tabbac sac,
lalu tutup dengan kasa steril yang telah diberi betadin dan fiksasi kedinding
dada dengan plester (gambar 9)
Note: selama
penjahitan, selang WSD ditutup.
|
Gambar 6: Posisi pasien pada pemasangan WSD
Pasien duduk, dengan sisi yang sakit menghadap kearah
operator. Tangan sisi paru yang sakit diangkat keatas kepala (ganbar kanan)
atau terlentang diatas meja (gambar kiri). Posisi trokard biasanya disela iga 7 atau 8 bagian posterior untuk efusi
pleura atau sela iga 2 bagian depan untuk pneumotorak.
|
|
.
.
|
|
|
Gambar 8: Botol
WSD
Gambar 9: Tehnik jahitan tabbac sac
Jahitan dilakukan searah jarum jam
dengan benang zyde rangkap dua. Buat dua simpul, satu simpul pada
bagian atas dan satu simpul pada selang WSD.
Follow-up
Penting
diperhatikan:
a. Undulasi
Undulasi adalah pergerakan cairan didalam
selang, sesuai irama pernapasan. Cairan akan bergerak kebawah sewaktu inspirasi
dan bergerak keatas sewaktu ekspirasi.
Undulasi negatif dapat karena habisnya efusi atau akibat terjepitnya selang WSD. Pada
keadaan ini dapat dilakukan spooling dengan larutan NaCl 0,9%, bila setelah
spoling cairan mengalir kembali berarti ada jepitan pada selang WSD,
sebaliknya bila setelah spooling cairan tetap tidak mengalir berarti
efusi sudah habis.
b.Buble
Gelembung udara yang terlihat didalam botol WSD.
Lebih jelas bila pasien disuruh meniup.
c. Warna
dan jumlah cairan yang keluar selama 24 jam
d.
Foto toraks
ulang
Pencabutan WSD
-
Pencabutan WSD dilakukan bila paru-paru sudah
mengembang penuh. Sebelumnya lakukan uji
coba dahulu dengan cara menjepit selang selama 24 jam, WSD dicabut bila paru
tetap mengembang.
-
Luka bekas WSD diikat dengan benang zide dan ditutup
dengan kasa steril yang diberi betadin 10%.
-
Pengembangan paru dapat dilihat dari:
a.Pemeriksaan
fisik
b.Foto
toraks ulang
c.Jumlah
cairan per 24 jam kurang dari 100 cc dengan
undulasi
negatif.
Gambar 10:
Kondisi rongga pleura sebelum pemasangan WDD (A) dan sesudah
pemasangan (B)
B
A
Gambar 10:
Kondisi rongga pleura sebelum pemasangan WDD (A) dan sesudah
pemasangan (B)
|
B |
A |
Komplikasi
Tindakan WSD sangat jarang menimbulkan komplikasi
bila mengikuti prosedur. Kalaupun ada umumnya ringan atau tidak bergejala.
Beberapa
komplikasi yang pernah dilaporkan, antara lain:
a.Pneumotorak
Udara yang masuk kerongga pleura dapat
berasal dari luar (melalui selang) atau dari
dalam (alveoli) akibat trokard menembus jaringan paru.
b.Hematotorak
Terjadi akibat trokard mencederai a.interkostalis.
Sering pada penderita usia tua, akibat penyempitan sela iga.
c.Vaso-vagal
syncope
Respons vaso-vagal ditandai dengan keluhan
mual, muntah, pusing atau nyeri. Keadaan
ini dapat terjadi pada pasien yang sangat cemas/gugup.
Tindakan yang harus dilakukan
adalah menyetop tindakan dan membaringkan pasien beberapa menit.
d.Empiema
Terjadi akibat
tindakan WSD yang tidak steril.
e.Laserasi
hati/limpa
Akibat lokasi
pemasangan WSD yang terlalu rendah
f.Penyebaran tumor
Akibat trokard merobek tumor primer pada
pleura (mesotelioma)
g.Nyeri
Nyeri dapat terjadi akibat tehnik
anestesi lokal yang tidak benar atau pasiennya sangat sensitive.
h. Emfisema sub-kutan
Sering pada pneumotorak, akibat posisi pasien yang tidak
ekstensi maksimal.
INDIKASI DAN PROSEDUR PLEURODESIS
Dr.F.Hadi Halim,SpPD-KP
SMF Pulmonologi RS.RK Charitas Palembang
PENDAHULUAN
Definisi
Pleurodesis adalah suatu tindakan obliterasi artifisial terhadap rongga
pleura.Pleurodesis ditujukan untuk menghindari terjadinya pneumotoraks atau
efusi pleura berulang.1
Prosedur pleurodesis dilakukan dengan
menggunakan “agen sklerosing” seperti talkum steril atau antibiotika kedalam
rongga pleura dengan tujuan untuk membuat inflamasi antara pleura visceralis
dan pleura parietalis, diharapkan inflamasi ini akan menyebabkan terjadinya
perlengkatan pleura, sehingga mengeliminasi besarnya rongga pleura dan
menghindari terjadinya reakumulasi cairan atau udara pada rongga pleura yang
berlebihan.2
Tindakan
pleurodesis dikerjakan pada penderita efusi pleura yang tidak dapat dikontrol
atau efusi yang terus menerus terjadi setelah dilakukan torakosintesis,dan
pneumotorak yang berulang atau pneumotorak yang tidak dapat dilakukan tindakan
bedah.3,4,5,6
Terapi dengan
pleurodesis dapat mengurangi angka kematian dan kesakitan, efek samping sedikit
dan efektif untuk mengontrol akumulasi cairan pleura.7
Kebanyakan
tindakan pleurodesis ini dilakukan pada efusi pleura maligna,hanya sebagian
kecil saja karena pneumotoraks.6,7
Lebih lanjut
dalam makalah ini akan dibahas tentang pleurodesis pada efusi pleura maligna.
AGEN SKLEROSING
Agen sklerosing
dianggap optimal sebagai agen untuk pleurodesis bila memiliki sifat-sifat
sebagai berikut : efektivitas yang tinggi, efek samping yang kecil, murah,
mudah didapat dan mudah diberikan.8 Beberapa agen sklerosing yang
dapat digunakan pada tindakan pleurodesis seperti : tetrasiklin, talkum steril,
doksisiklin, bleomisin dan lain-lain.(Tabel 1) 9
Tabel 1. Agen
sklerosing
Dikutip
dari 9
Tetrasiklin
Penggunaan tetrasiklin sebagai
agen sklerosing pada tindakan pleurodesis pertama kali diperkenalkan oleh
Robinson dan Bolooky pada tahun 1964.4 Tetrasiklin dianggap aman
diberikan, efektif,murah, mudah didapat, mudah pada penggunaannya dan efek
toksiknya sedikit.Penelitian dengan menggunakan tetrasiklin sebagai agen
sklerosing paling banyak dilakukan di USA dan Inggris, insiden terjadinya
rekurensi cairan pleura hanya sedikit.10 Angka kesuksesan
pleurodesis dengan menggunakan tetrasiklin 50-92%,rata-rata 65%.9
Efek samping seperti demam (10%) dan nyeri dada pleuritik (30%),biasanya bersifat
sementara dan respon terhadap antipiretik dan analgetik.Dosis optimal untuk
pemberian intrapleura 1,0-1,5 gram atau 20 mg/kgBB.7 Penelitian
menggunakan dosis kecil 500 mg memberikan respons terapi yang kecil, namun
belum ada bukti yang mendukung penggunaan tetrasiklin dalam dosis besar.9
Talkum Steril
Talkum dengan
komposisi kimia Mg3Si4O10(OH)2,pertama
kali digunakan sebagai agen sklerosing pada tahun 1935.Talkum yang digunakan
harus bebas asbestos dan sudah disterilisasi dengan pemanasan kering, ethylene
oxide dan radiasi gamma. Angka keberasilan pleurodesis dengan menggunakan
talkum 88-100% dengan rata-rata 90%.
Efek samping
yang biasa terjadi berupa nyeri dada dan demam.Komplikasi yang serius dapat
berupa ARDS atau akut pneumonitis.
Dosis,jenis dan
ukuran talkum merupakan hal yang penting diperhatikan untuk menghindari
terjadinya efek samping.9
Bleomisin
Bleomisin adalah
antineoplasma yang paling banyak digunakan dalam penatalaksanaan efusi pleura
maligna.Cara kerjanya lebih kurang sama dengan talkum dan tetrasiklin,sebagai
skelerosing.Walaupun 45% pemberian bleomisin diabsorpsi secara sistemik,tapi
efek sampingnya hanya minimal atau tidak ada efek myelosupresif.
Bleomisin
merupakan agen skelosing yang efektif, dengan angka keberhasilan 58-85% dengan
rata-rata 61% setelah satu kali pemberian.
Efek samping
yang ditimbulkan berupa demam,nyeri dada dan nausea.Dosis yang dianjurkan
adalah 60 unit dicampur dengan normal saline.Kekurangan bleomisin adalah
harganya mahal per pengobatan dibandingkan agen sklerosing yang lain dan
memerlukan tenaga yang terlatih untuk melakukannya.9
Doksisiklin
Walaupun
doksisiklin banyak digunakan di USA dan Eropa,tapi di Inggris tidak
direkomendasikan untuk peggunaan intrapleura.Angka keberhasilannya 65-100%
dengan rata-rata 76%.Efek samping seperti pada penggunaan tetrasiklin yaitu
demam dan nyeri dada.Kelemahan doksisiklin adalah pemasangan berulang catheter
untuk memperoleh hasil yang baik,hal ini memperpanjang pemasangan catheter atau
pemasangan tube sehingga menyebabkan infeksi, ketidak nyamanan pasien dan
meningkatkan biaya pengobatan.9
5 Fluorourasil
Penggunaan 5FU
secara intrapleura, diberikan dengan dosis yang bervariasi 500 mg – 2 gr,dengan
angka keberhasilan rata-rata 58%.Efek samping yang ditemukan biasanya nyeri
sedangkan nyeri dan demam tidak pernah dilaporkan.11,12
MEKANISME
Mekanisme terjadinya perlengketan
antara pleura parietalis dan pleura viseralis belum diketahui dengan
pasti.Diduga dengan pemberian agen sklerosing secara intrapleura yang merupakan
rangsangan kimia yang dapat menyebabkan pleuritis, inflamasi yang membentuk
adhesi pada permukaan pleura parietalis dan pleura visceralis.8 Dari
berbagai penelitian diketahui bahwa pemberian tetrasiklin intrapleura dapat
menghasilkan suatu media yang dapat merangsang sel-sel esotel mengeluarkan
mediator-mediator inflamasi seperti growth
factor like activity (GFLA) yang dapat merangsang proliferasi sel-sel
fibroblast dan dapat menimbulkan proses inflamasi pada rongga pleura sehingga
menyebabkan obliterasi dan akhirnya menghambat reakumulasi cairan didalam
rongga pleura.2,13 Media yang dihasilkan ini mempunyai pH bersifat
asam 2-2,2. Beberapa ahli menyatakan bahwa pH asam inilah yang menyebabkan
sel-sel mesotel terangsang dan mengeluarkan GFLA.Penelitian terhadap kelinci
yang diberi solusio N hydrochloride acid 0,01 akan menghasilkan pH 2,3 namun
keadaan ini tidak merangsang sel-sel mesotel mengeluarkan GFLA,sehingga peran
pH yang asam dalam menimbulkan reaksi inflamasi tidak dapat dipertanggung
jawabkan.13
Growth
factor like activity (GFLA) adalah suatu kompetitor tipe aktif, stabil pada
keadaan panas dan dapat rusak dengan proses proteolisis, mengandung PDGF dengan
berat molekul 31.000 dan dapat dihambat oleh anti PDGF antibodi.5
Dari suatu percobaan pada tikus yang membandingkan efek tetrasiklin dan
bleomisin pada sel-sel mesotel pleura,dimana sel-sel mesotel yang terpapar
dengan bleomisin 0,1 ug – 1 mg/ml tidak mengandung growth factor like activity yang dapat merangsang proliferasi
fibroblast setelah 2-8 jam pemberian bleomisin.Hal ini menunjukkan bahwa proses
sklerosis pleura yang disebabkan bleomisin melalui jalur yang lain belum
diketahui.Namun dari penelitian lain diketahui bahwa bleomisin dapat
menginduksi alveolar makrofag dimana dapat menghasilkan growth factor untuk proliferasi fibroblast pada dosis 0,1 ug-1
mg/ml.13 Pemberian nitrogen mustard,fluorourasil,thiotepa dan
bleomisin intrapleura dapat menyebabkan tumor lisis,tetapi mekanisme yang lebih
berperan pada proses sklerosis adalah iritasi pada pleura.14 Selain
faktor-faktor tersebut,pada saat terjadi sklerosis pleura diketahui sel-sel
mesotel juga memproduksi aktivator plasminogen yang akan merangsang terjadinya
fibrinolisis.15 Pemberian substansi iritatif seperti tetrasiklin dan
quinakrin pada efusi pleura maligna dapat menyebabkan reaksi inflamasi dan
banyak dijumpai deposit-deposit fibrin.Mekanisme terjadinya deposit fibrin ini
menurut beberapa peneliti disebabkan karena adanya ketidak seimbangan antara
komponen aktivator dan inhibitor pada sistem fibrinolisis.Komponen aktivator
yaitu D-Dimer menurun sedangkan kadar alpha 2 anti plasmin sedikit
meningkat.Komponen inhibitor yaitu PAI kadarnya menurun sebelum diberikan
terapi dan meningkat setelah diberi terapi.Keadaan ini menunjukkan bahwa
D-Dimer menggambarkan aktivitas sistem fibrinolitik yang menurun selama
pemberian terapi.Sehingga dari hipotesis ini diduga faktor-faktor ini dianggap
turut berperan didalam terjadinya sklerosis pleura.16,17
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESUKSESAN PLEURODESIS
1.
Kemampuan paru untuk mengembang secara sempurna
(dikonfirmasi dengan foto torak)
Penderita yang telah dipasang WSD dan ternyata
pneumotorak akibat komplikasi pemasangan WSD,merupakan kontra indikasi untuk
dilakukan pleurodesis karena pada saat itu paru tidak mengembang sempurna.Juga
pada keadaan atlektasis atau obstruksi bronkhial dimana paru-paru tidak
mengembang sempurna maka tindakan pleurodesis pada kasus-kasus ini kurang
berhasil.8
2. Drainage cairan pleura melaui chest tube.
Tidak adekuatnya pengeluaran cairan melalui chest tube kemungkinan disebabkan oleh
karena posisi pemasangan chest tube
yang kurang baik,misalnya kepanjangan, adanya obstruksi pada tube oleh fibrin-fibrin dan adanya
lokulasi.8,18
3. Distribusi yang merata dari agen
sklerosing
Tindakan rotasi pada penderita yang diberikan agen
sklerosing menurut beberapa peneliti masih merupakan kontroversi.Tindakan
rotasi tidak terlalu penting bila ruangan pleura normal atau paru-paru
mengembang baik,namun bila ada lokulasi atau trapped lung,barulah bermanfaat.17
4.
Dosis
Dosis biasanya berhubungan efektivitas dan
toksisitas.Pada beberapa penelitian pemberian tetrasiklin 7 mg / kg BB tidak
menghasilkan perlengketan dari rongga pleura sedangkan dengan dosis 20 mg/ kgBB
hasilnya baik.Pemberian talkum dengan dosis 10 g pada beberapa peneliti dapat
menyebabkan gagal nafas, sehingga dosis talkum yang direkomendasikan adalah 2-5
gram.8
5.
Tehnik pemberian
Dengan tehnik pemberian agen sklerosing yang baik,dapat
membantu menghasilkan angka kesuksesan yang tinggi.9
6.
Efetivitas agen sklerosing
Kondisi pH cairan pleura
bersifat asam yang dihasilkan pada saat pemberian agen sklerosing, menurut
beberapa peneliti hal ini mempengaruhi keberhasilan pleurodesis, dimana pada pH
asam memberikan kesuksesan pleurodesis yang tinggi sedangkan pada pH yang
alkali angka kesuksesan pleurodesis rendah.Pemberian tetrasiklin intrapleura
dapat menghasilkan pH yang asam yaitu 2,0 dengan angka kesuksesan cukup tinggi
antara 83-100%, akan tetapi dari suatu penelitian di Chile didapatkan angka
kesuksesan 93% dengan menggunakan agen sodium hidroklorid dimana pH yang
dihasilkan 13.Pemberian 5 FU juga menghasilkan pH yang alkali dengan angka
kesuksesan rata-rata 58%.Dosis tampaknya berpengaruh terhadap nilai
pH.Pemberian dosis tetrasiklin yang semakin tinggi menyebabkan terbentuknya pH
yang semakin asam sehingga efek pleurodesis semakin baik.19
Dari
pemeriksaan analisa cairan pleura terhadap kadar glukosa dan pH,dapat
diramalkan keberhasilan pleurodesis,dimana bila terdapat kadar glukosa yang
rendah yaitu < 60 mg/dl dan pH < 7,3, angka keberhasilan pleurodesis
menurun.Kegagalan ini oleh karena berhubungan dengan metastase tumor yang
semakin luas dimana pemakaian glukosa oleh sel-sel tumor semakin banyak dan
pembentukan hasil metabolisme akhir glukosa yaitu berupa asam laktat semakin
banyak dan menumpuk didalam rongga pleura akibat transportasi yang kurang baik
karena pleura sudah mengalami metastase,sehingga pada keadaan ini mempunyai
prognosis buruk.20,21
KOMPLIKASI PLEURODESIS
Beberapa agen
sklerosing dapat menimbulkan rasa nyeri setelah diberikan intrapleura.Rasa
nyeri dapat ringan sampai berat.Tetrasiklin dan talkum merupakan agen yang
paling sering menimbulkan rasa nyeri.Diketahui bahwa 1/3 penderita yang
diberikan tetrasiklin mengalami rasa nyeri sedang sampai berat, 1/3 lagi nyeri
ringan dan 1/3 sisanya tidak ada keluhan.2 Untuk mengatasi rasa
nyeri tersebut Frederick H.Husherr menganjurkan pemberian analgetik sistemik
dan anestesi lokal intra pleura.Analgetik sistemik yang diberikan berupa morfin
10 mg atau meferidin 75-100 mg subkutan atau intramuskular,yang diberikan 15
menit sebelum pemberian agen sklerosing sedangkan untuk anestesi lokal dapat
diberikan lidokain 2% sebanyak 15-20 cc ( 200-250 mg ) 5 menit sebelum
pemberian agen sklerosing.2,8 Beberapa peneliti memberikan lidokain
intrapleura dengan dosis 50-150 mg,namun biasanya tidak melebihi 3 mg /
kgBB karena bila berlebihan beresiko
untuk terjadi toksik.22
Dosis lidokain
intrapleura yang diberikan tidak mempengaruhi pH cairan pleura.7,23 Demam
merupakan keluhan kedua terbanyak setelah nyeri.Komplikasi yang lain berupa
empiema dan yang paling fatal adalah gagal nafas.Bila tehnik pemasangan chest tube dan pemberian agen yang
kurang baik dapat menimbulkan emfisema subkutis,pneumotorak dan infeksi.2,8
Keluhan-keluhan lain berupa mual,rash
dan juga dapat terjadi syok septik terutama pemberian bleomisin.11
PENGUKURAN
KEBERHASILAN PLEURODESIS
Definisi
kriteria keberhasilan pleurodesis bervariasi.24 Beberapa peneliti
menggunakan istilah respons sempurna (sukses) yang dinilai dari tidak adanya
cairan terakumulasi dalam rongga pleura yang dilakukan dengan pemeriksaan fisik
dan atau dengan pemeriksaan foto torak ( Chest
Radiographs Ratio = CRT ).11,24 Penilaian foto torak tergantung
dari peneliti,ada yang menggunakan skor 0-5 : 24
-
skor
0, bila tidak ada efusi pleura
-
skor
1, pengembangan paru tidak sempurna (partially
trapped lung)
-
skor
2, bila cairan tampak diatas kubah diafragma
-
skor 3, bila cairan pleura pada hilus
-
skor 4, bila cairan pleura diatas hilus
-
skor 5, bila cairan pleura memenuhi seluruh hemitorak
Penelitan
lain menggunakan score of 1 or 2
untuk menilai foto torak paska pleurodesis,yaitu : 24
-
skor 1, tidak ada efusi
-
skor
2, efusi minimal (< 10 % dibandingkan sebelum intervensi)
-
skor
3, efusi sedang ( 10-49 % dibandingkan sebelum intervensi)
-
skor
4, efusi besar ( 50-90 % dibandigkan sebelum intervensi)
Tindakan pleurodesis dapat diulangi lagi
sampai 2 kali apabila pada tindakan yang pertama belum berhasil.Pleurodesis
dikatakan gagal atau tidak berhasil bila tindakan pleurodesis telah dilakukan 2
kali dimana cairan yang keluar dari rongga pleura > 100 ml/ 24 jam dan pada
foto torak menunjukkan skor > 1.8,24 Beberapa peneliti lain
mengukur keberhasilan pleurodesis dari berapa lama terjadinya reakumulasi
cairan pleura paska pleurodesis, dimana dianggap berhasil bila dalam waktu 30
hari paska pleurodesis tidak terjadi reakumulasi cairan pleura.8
PENATALAKSANAAN
Penderita yang
datang berobat dengan keluhan sesak nafas dan kadang-kadang disetai nyeri dada
dilakukan : 25
- Anamnesis dan pemeriksaan fisik → bila dicurigai ada cairan pada pleura
- Foto torak dan kalau ternyata ada efusi pleura
- Pungsi percobaan : lakukan tindakan → bila didapatkan cairan berwarna serosanguinis atau merah darah
- Pungsi aspirasi → kemudian diikuti dengan pemasangan WSD (water seal drainage) dengan menggunakan NGT no 16.
- Cairan pleura dikirim ke Patologi Anatomi untuk pemeriksaan sitologi,dan juga dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan analisa cairan.
- Cairan yang keluar dari pleura dicatat dan dijumlahkan sebelum dilakukan tindakan pleurodesis
- Setelah cairan dari pleura < 100 cc/ 24 jam → kemudian dilakukan pemeriksaan fisik kembali,apakah tanda-tanda cairan dalam rongga pleura tidak ada lagi.
- Foto torak ulang untuk mengkonfirmasi apakah masih ada cairan dan untuk melihat pengembangan paru.
- Bila paru sudah mengembang (dengan menggunakan skor CTR = 0 ) → dapat dilakukan pleurodesis.
- Pada pemberian tetrasiklin, 15 menit sebelum dilakukan pleurodesis diberikan petidin 50 mg IM dan kemudian 5 menit sebelum dimasukkan tetrasiklin ke dalam rongga pleura,diberikan lidokain intrapleura 200 mg
- Tetrasiklin bubuk steril 1500 mg diencerkan dengan 50 ml cairan normal saline, dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui chest tube,kemudian chest tube-nya diklem dan dimonitor apakah ada terjadi reaksi alergi.
- Kemudian penderita diminta untuk melakukan beberapa gerakan perpindahan posisi yaitu terlentang, duduk, telungkup, miring ke kanan, miring ke kiri, masing-masing 15 menit.Semua gerakan ini memakan waktu 2 jam
- Setelah 24 jam post pleurodesis → dilakukan pemeriksaan fisik : apakah masih terdapat tanda-tanda cairan,bila tidak ada lagi tanda-tanda cairan lalu dilakukan foto torak ulang untuk menilai pengembangan paru.
- Bila cairan tidak ada lagi ( < 100 ml/24jam) dn dari gambaran foto torak cairan tidak ada lagi (skor CTR = 0) → WSD dapat dicabut.
- Bila setelah pleurodesis yang pertama jumlah cairan WSD masih > 100 ml / 24 jam dan dari gambaran foto torak masih tampak cairan (skor CTR ≥ 1) maka pleurodesis diulang kembali dengan prosedur yang sama.
- Maksimal pleurodesis dilakukan 2 kali.
|
Gambar 1. Peralatan yang digunakan
untuk pleurodesis
|
KEPUSTAKAAN
- Pleurodesis.Available at http://en.wikipedia.org/wiki /Pleurodesis. Wikimedia Foundation,Inc. 2006
- Bitran J,Brown CM,Feus LG,et al. Malignant Pleural Effusions. In : Recent Advances in Diagnosis and Management, 1992 : P 6 – 83
- Asalgaff H, Mukty HA. Dasar-dasar Ilmu Paru.Surabaya Airlangga University Press, 1995 : 143-154.
- Ruckdesl JC. Malignant effusion in the chest. In : Current Cancer Therapeutics. Second Edition,1996 : 304-308.
- Colt HG, Dumon JF. Development of Disposable Spray Canister for Talc Pleurodesis. Chest 1994 ; 106 : 1776-1780.
- Dincer EH, Lipchik RJ. The intricacies of pneumothorax. Management depends on accurate classification. Post Graduate Medicine.December 2005.
- Landvater L, Hix WR, Mills M, et al. Malignant Pleural Effusion Treated by Tetracycline Sclerotherapy (A Comparison of Single vs Repeated Installation).Chest 1988 ; 93 : 1196-1198.
- Tate CA. Talc-Rationale and Use in Malignant Pleural Effusions. Cancer Control 1997 ; 4 : 172-178.
- G. Antunes, Neville E, Duffy J, Ali N. BTS Guidelines for the management of malignant pleural effusions. Thorax 2003; 58 : Suppl II ii 29 – ii38.
- Gannis FW, Wagman LD, Curcio LD, et al. Fluid Complications. In : Cancer Management : A Multi Disciplinary Approach.4ed th. 2000 : 1-5.
- Renard PBW, Vaughan LM, Sahn SA. Chemical Pleurodesis for Malignant Pleural Effusions. Ann Intern Med 1994 ; 120 : 56-64.
- Surland LG, Wiesberger AS, Cleveland. Intracavity 5- Fluorouracil in Malignant Effusions. Arch Intern Med.1965 ; 116 : 431 – 433.
- Antony VB, Rothfuss KJ,Godbey SW,et al. Mechanism of Tetracycline Hydochloride Induced Pleurodesis.AM Rev Respir Dis 1992 ; 146 : 1009-1013.
- Tabbarah JH,Casciato DA.Malignant Effusions. In : Haskell MC ed. Cancer Treatment,2nd ed, Philadelphia.1998 : 911-916.
- Antony VB.Pleurodesis – Testing the Waters. Am Rev Respir Dis. 1987 ; 135 : 775-776.
- Agrenius V, Chemielewska J, Widstrom O, et al. Pleural Fibrinolytic Activity is Decreased in Inflammation as Demonstrated in Quinacrine Pleurodesis Treatment of Malignant Pleural Effusion. Am Rev Respir Dis .1989 ; 140 : 1381-1385.
- Good JT, Taryle DA, Hyer TM. Clotting and Fibrinolytic Activity of Pleural Fluid in a Model of Pleural Adhesions. Am Rev Respir Dis. 1978 ; 118 : 903-908.
- Davies CWH, Traill ZC, Gleeson FV,et al. Intrapleural Streptokinase in the Management of Malignant Multiloculated Pleural Effusions. Chest 1999 ; 115 : 729-733.
- Sahn SA, Good JT, Pott DE. The pH of Sclerosing Agents a Determinant of Pleural Symphysis. Chest 1979 ; 76 : 98-200.
- Sahn SA, Good JT. Pleural Fluid pH in Malignant Effusions Diagnostic, Prognostic and Therapeutic Implications. Ann Intern Med 1988 ; 108 : 345 – 349.
- Panadero FR, Mejias JL. Low Glucose an pH Level in Malignant Pleural Effusions Diagnostic Significance and Prognostic Value in Respect to Pleurodesis. Am Rev Respir Dis 1989 ; 139 : 663-667.
- Wooten SA, Barbarash RA, Strange C. Systemic Absorption of Tetracycline and Lidocaine Following Intrapleural Instalation. Chest 1998 ; 94 : 960-963.
- Wijaya A,Alsagaff H.Tetracycline Pleurodesis in the Cyto-Histological Proved Malignant Pleural Effusion. Majalah Ilmu Penyakit Dalam. 1991 ; 17 : 31-35.
- Kennedy L,Rusch VW,Strange C.Systemic Absorption of Tetracycline and Lidocaine Following Intrapleural Instilation. Chest 1988 ; 94 : 960-963.
- Rowland B. Pleurodesis Healthcare Article. In Gale Encyclopedia of Cancer.Detroit.2002
Gambaran radiologis efusi pleura
Gambaran radiologis pneumotorak
Gambaran USG dan CT scan pneumotorak
Gambaran USG dan CT scan efusi
pleura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar